Gubernur Koster mencanangkan Perda Desa Adat. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali bergerak menata kearifan lokal. Desa adat sebagai pilar peradaban Bali ditata dan dikuatkan dengan regulasi komprehensif. Ditetapkannya Peraturan Daerah No.4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali pada era pemerintahan Gubernur Wayan Koster dan Wakil Gubernur Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati menjadikan desa adat memiliki rujukan yang dinamis dan kuat dalam menghadapi tantangan zaman.

Perda ini pun direspons positif krama Bali dan diharapkan menjadi roh dalam menuju Bali Era Baru dengan visi misi ‘’Nangun Sat Kerthi Loka Bali’’. “Untuk memperkuat desa adat ini, saya telah merancang kebijakan strategis berkenaan dengan desa adat. Pertama, membuat Perda No.4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Perda ini telah diumumkan dan diberlakukan secara resmi pada tanggal 4 Juni 2019 di Wantilan Pura Samuhan Tiga, Desa Adat Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar,” ujar Gubernur Bali Wayan Koster.

Menurut Koster, perda ini mengatur secara menyeluruh mengenai keberadaan desa adat di Bali. Yakni dengan memberikan kewenangan yang kuat kepada desa adat. Desa adat kini berkedudukan di wilayah provinsi dan untuk pertama kali dalam sejarah, desa adat berstatus sebagai subjek hukum dalam sistem pemerintahan di Provinsi Bali. “Ini perjuangan yang tidak gampang, jadi kita harus bersyukur sekarang desa adat kita sudah mempunyai legitimasi hukum yang cukup kuat,” ucapnya.

Untuk mendukung pelaksanaan perda, lanjut Koster, pihaknya telah menerbitkan Peraturan Gubernur tentang Pengelolaan Dana Desa Adat. Pergub ini sedang diproses oleh Kementerian Dalam Negeri.

Baca juga:  Tambahan Korban Jiwa Nihil, Justru Kasus COVID-19 Baru Alami Kenaikan

Dengan peraturan ini maka dana desa adat dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota langsung ditransfer ke rekening desa adat. “Kalau selama ini dana desa adat harus dikirim ke desa dinas melalui Bantuan Keuangan Khusus. Padahal yang menggunakan adalah desa adat, ini sistem administrasi yang salah karena itu harus kita tata kembali dengan peraturan ini,” jelas mantan anggota DPR-RI ini.

Koster menambahkan, pergub juga akan mengatur tata kelola keuangan desa adat agar jngan sampai bermasalah secara hukum. Di sisi lain, Kementerian Dalam Negeri saat ini dikatakan tengah memproses rencana pembentukan Dinas Pemajuan Masyarakat Adat.

Pada prinsipnya Kemendagri telah menyetujui terbentuknya OPD baru tersebut. Saat niat dan upaya ini berhasil, untuk pertama kali dalam sejarah pemerintahan daerah di Bali dibentuk dinas yang secara khusus mengurus desa adat. Lembaga inilah yang akan mengarahkan dan mengoptimalkan perencanaan dan pelaksanaan program desa adat.

“Clear ini sekarang desa adat kita, ada yang ngurusin. Desa dinasnya 636, kelurahannya 80, desa adatnya 1.493. Masak enggak ada OPD yang ngurus, kebangetan ini. Teledor kita selama ini,” imbuhnya.

Menurut Koster, selanjutnya akan dibangun Kantor Majelis Desa Adat Provinsi dan Kantor Majelis Desa Adat Kabupaten/Kota se-Bali. Pendanaan pembangunan kantor Majelis Desa Adat Provinsi bersumber dari APBD Provinsi dan CSR.

Sedangkan pendanaan pembangunan Kantor Majelis Desa Adat Kabupaten/Kota bersumber dari APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota, dan CSR. Kantor Majelis Desa Adat akan dilengkapi dengan tenaga administrasi, perlengkapan kantor, serta mobil dan dana operasional.

Baca juga:  Datangi Kantor Bupati Karangsem, Ini Permintaan Pengusaha di Tulamben

Kemudian, di semua desa adat akan dibentuk Tim Pendamping yang berasal dari perguruan tinggi se-Bali dan masyarakat. Walaupun diberikan kewenangan lebih, desa adat tidak boleh arogan dan harus tertib. “Tim bertugas mendampingi prajuru desa adat dalam melaksanakan program dan kewenangan sesuai dengan perda. Tim ini akan mendampingi pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan desa adat,” pungkasnya.

Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati mengatakan, langkah-langkah penguatan desa adat sebetulnya telah menjadi komitmen Koster-Ace sejak sebelum terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur. Di samping membuat Perda tentang Desa Adat di Bali, langkah-langkah real juga sudah dilakukan.

Misalnya dengan meningkatkan gelontoran anggaran untuk desa adat dari Rp 225 juta menjadi Rp 250 juta pada APBD 2019, dan akan ditingkatkan lagi tahun depan. Kemudian melengkapi fasilitas WiFi di setiap desa adat. “Dengan demikian diharapkan akses-akses, baik informasi maupun pasar dan akses-akses lainnya bagi masyarakat desa itu lebih terbuka,” ujarnya.

Pria yang akrab disapa Cok Ace ini menambahkan, eksistensi desa adat sangat penting dalam menjaga adat istiadat dan budaya Bali. Selain itu, desa adat juga turut berperan dalam konteks ekonomi.

Mengingat, produk-produk yang kini dipasarkan seluruhnya merupakan produk-produk budaya dengan pelakunya adalah desa adat. Oleh karena itu, seluruh stakeholder yang ada di Bali wajib secara bersama-sama menjaga eksistensi desa adat. “Mereka-lah sesungguhnya yang menjadi daya tarik, sebagai pelaku-pelaku utama di dalam panggung yang kita sebut Pulau Bali ini,” jelasnya.

Baca juga:  Punya Gedung Baru, Anggota DPRD Bangli Diharap Lebih Produktif

Menurut Cok Ace, desa adat ke depan memiliki tugas berat. Terlebih dalam persaingan era global, ada hal-hal yang harus dilestarikan oleh desa adat. Tetapi ada juga hal-hal yang membuat desa adat harus membuka diri terhadap perkembangan zaman ke depan.

Di sinilah desa adat harus bisa mengolaborasikan antara nilai-nilai kearifan lokal dengan konteks-konteks kekinian, sehingga desa adat selalu eksis sepanjang masa. “Memang kita mempunyai prinsip-prinsip, konsep-konsep dalam pergaulan baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Kita mempunyai identitas diri. Oleh sebab itu, kita tidak bisa juga menutup diri hanya sebatas pada tingkat lokal atau nasional saja,” ucapnya.

Cok Ace mencontohkan di dunia usaha, orang Bali yang bekerja di perusahaan di satu sisi juga diwajibkan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban adat. Hal ini ke depan perlu dibicarakan agar tidak menjadi sebuah pertentangan antara pekerjaan dengan urusan adat.

Kemudian menyangkut masalah batas-batas wilayah desa adat. Hal ini bisa menjadi sensitif ketika desa adat di Bali makin hari nilai ekonominya makin meningkat. “Jangan sampai nanti akibat dari pembangunan khususnya di industri pariwisata membuat kita akhirnya lupa, bahkan membuat konflik sama saudara atau tetangga sendiri. Coba kita susun formulasi sebab ini adalah suatu keniscayaan, mau tidak mau kita akan hadapi di masa yang akan datang,” pungkasnya. (Rindra Devita/balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *