Gubernur Bali, Wayan Koster didampingi Wagub Cok Ace bersama stakeholder agama, seni, dan budaya usia menandatangani kesepakatan bersama soal perlindungan dan penguatan Tari Sakral Bali. (BP/istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com –  Komitmen mengawal Bali terus digulirkan Gubernur Bali Wayan Koster. Tak hanya perlindungan alam dan segala bentuk kearifan lokalnya diproteksi, kini terobosan terbaru diluncurkan.

Gubernur yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Bali ini mengawal tari sakral yang berkaitan erat dengan ritual dan ajegnya Bali. Ia menegaskan seni budaya yang ada di Bali bukan seni biasa, melainkan berakar dari karya yang diciptakan untuk kepentingan upakara.

Di mana kepentingan agama dan upakara agama dijalankan dengan satu tradisi adat istiadat yang juga diisi dengan unsur seni. “Itulah kelebihan kita di Bali, ada gamelan serta tarian. Tariannya bersifat sakral karena dipentaskan saat ada upacara agama,’’ kata Gubernur Koster di hadapan awak media seusai prosesi Penandatanganan Keputusan Bersama tentang Penguatan dan Perlindungan Tari Sakral Bali di Rumah Jabatan Gubernur Bali, Jayasabha, Denpasar, Selasa (17/9).

Dewasa ini, lanjut Gubernur Koster, banyak seni tari sakral yang banyak bergeser dan mulai dipentaskan untuk kepentingan komersialisasi. Dipentaskan di sembarang tempat bahkan dijadikan alat untuk mendapatkan penghargaan seperti Rekor Muri. “Kondisi ini kami anggap desakralisasi, yang akan menurunkan kesakralan, akan menggeser dan merusak tatanan seni budaya yang diwariskan leluhur. Untuk itulah dalam rangka menguatkan adat dan kebudayaan lokal, saya pandang penting untuk memprioritaskan  menjaga, melestarikan dan memelihara tatanan seni tradisi yang kita punya, khususnya tari sakral,” ujar Gubernur kelahiran Desa Sembiran Kabupaten Buleleng ini.

Gubernur menegaskan, masyarakat juga perlu memahami pentingnya hal ini, dan memang harus dijaga bersama kesakralannya, sebagai suatu karya kreatif yang dibuat untuk upakara keagamaan, adat, agama dan budaya dalam satu-kesatuan. Meski demikian, Ketua DPD PDI Perjuangan Bali ini tak menampik pula bahwa banyak seniman yang mendapatkan inspirasi untuk mengembangkan suatu tarian baru dari tarian-tarian sakral tersebut.

Baca juga:  Pilgub Bali 2024, Dua Nama Ini Kandidat Kuat Dampingi Koster

Langkah ini sama sekali bukan untuk mengekang kreativitas, seniman, sanggar seni, serta sekaa yang ada di Bali. “Silakan berkreasi dengan berbasis kepada seni tradisi sakral, namun tentu dibedakan dari garapan dan kemasannya. Namanya pun beda. Ini semata-mata untuk kepentingan penguatan kesakralan tari tradisi kita, agar kita punya ‘pagar’ untuk mengontrol hal tersebut. Mudah-mudahan ini jadi langkah penting kita untuk memajukan kebudayaan di Bali,” katanya lagi.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) juga menyampaikan rasa apresiasinya dengan kesepakatan yang ditandatangani oleh berbagai pihak dan lembaga yang berkepentingan. “Jika saya mengambil sudut pandang seniman, maka akan sangat berbeda orientasinya jika kita membawakan tarian yang sakral. Ini karena orientasinya 100 persen adalah persembahan kepada Tuhan, bukan untuk menghibur, apalagi komersial. Kalau demikian sudah menyimpang namanya,” ujar pria yang juga seniman tari ini.

Sementara itu, Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof. I Gede Arya Sugiartha menyebut daftar tarian yang disakralkan tersebut sudah melalui kajian antara lain melibatkan tim dari ISI Denpasar, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali serta Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibya) Provinsi Bali. “Kesepakatan ini tentu akan diteruskan dengan sosialisasi lebih lanjut ke masyarakat, agar tidak terjadi salah pemahaman. Sekali lagi ini bukan mengekang kreativitas, namun upaya untuk mendudukkan seni sakral ini di tempat yang semestinya. Unsur nilainya bisa berkembang lagi di masyarakat,” urainya.

Baca juga:  Penantian 100 Tahun, Gubernur Koster Keluarkan Sertifikat Tanah Gratis ke Warga Tanjung Benoa

Budayawan Prof. Dr. Made Bandem menambahkan pendataan tarian sakral yang disusun tersebut berdasarkan kepada rumusan di tahun 1971 dengan klasifikasi bertajuk “Wali, Bebali dan Bali-Balihan” yang diartikan sebagai wali (sakral) atau bebali (upacara) dan balih-balihan (hiburan). “Tari wali dan bebali dapat ditarikan di tempat dan waktu tertentu. Tari wali dipentaskan di halaman bagian dalam pura dan tari bebali di halaman tengah (jaba tengah – red) jadi dapat dikategorikan sebagai tarian sakral. Sebaliknya tari balih-balihan ditarikan di halaman luar pura (jaba sisi – red) dalam acara yang bersifat hiburan lebih ditekankan kepada sisi artistiknya dan bisa dipentaskan di tempat lain, untuk pariwisata dan lainnya,” ujar Prof. Bandem.

Dilanjutkan Prof. Bandem, dalam data mutakhir yang disusun pada 1992 oleh Listibya, terdaftar 6.512 kelompok seni di Bali yang 70 persen di antaranya mengusung tari kategori wali dan bebali. “Perkembangan seni yang begitu pesat di Bali dan pada 2015 kita menemukan 10.049 sekaa di Bali dan tetap sebagian besar pada wilayah tari wali dan bebali. Ini dasarnya sehingga perlu diproteksi lebih jauh lagi. Apalagi kita ketahui tari-tarian sakral ini adalah sumber dari seni tari di Bali,” tambahnya.

Baca juga:  Soal SE Gubernur Timbulkan "Cancel" Wisatawan ke Bali, Ini Kata PHRI Badung

Proteksi ini, menurut Prof. Bandem, juga memiliki acuan kepada usulan agar istilah ‘’Wali, Bebali dan Bali-Balihan’’ ini dienskripsi oleh UNESCO, sehingga wajib adanya untuk dilestarikan dan dijaga lebih kuat terhadap perubahan-perubahan zaman.

Dalam kesepakatan yang dibacakan oleh Kadis Kebudayaan Provinsi Bali I Wayan ‘’Kun’’ Adnyana, disebutkan bahwa dalam upaya Penguatan dan Pelindungan Kebudayaan Bali sesuai visi ‘’Nangun Sat Kerthi Loka Bali’’ melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana, menuju Bali Era Baru, dibuat Keputusan Bersama tentang Penguatan dan Pelindungan Tari Sakral Bali yang ditandatangani oleh Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana  M.Si., Bendesa Agung Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet, Ketua Umum Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Provinsi Bali Prof. Dr. I Made Bandem, M.A., Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dr. I Wayan Adnyana, S.Sn., M.Sn., dan Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.SKar., M.Hum. serta disaksikan oleh Gubernur Bali Wayan Koster dan Sekretaris Daerah Provinsi Bali Dewa Made Indra.

Adapun jenis tari yang dimaksud antara lain: Tari Rejang, Tari Sanghyang, Tari Baris Gede, Wayang Lemah, Topeng Sidakarya dan lain-lain dengan total 127 jenis tarian. ‘’Namun tidak menutup kemungkinan bisa bertambah lagi, dengan melihat aspirasi dan usulan masyarakat,’’ ujar Adnyana. (kmb/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *