Pelaku pariwisata, akademisi, dan tokoh masyarakat melakukan pembahasan pasal-pasal RKUHP yang menjadi ancaman pariwisata Bali. (BP/may)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sejak tahun 2017, pariwisata Bali diterpa sejumlah masalah. Kini ancaman terhadap kepariwisataan Bali kembali terjadi dengan adanya revisi Rancangan Kitab UU Hukum Pidana (RKUHP).

Ketua Umum NCPI (Nawa Cita Pariwisata Indonesia) Dr. I Gusti Kade Sutawa mengatakan, beberapa negara merespon RKUHP ini terutama di Australia dan sejumlah negara. Sebagian membicarakan benar, sebagian berlebihan.

Bahkan, ada dari kalangan pariwisata yang menyebutkan sudah ada pembatalan kunjungan ke Bali. “Kita bersyukur Presiden menunda, namun belum berarti itu dihentikan,” pungkasnya.

Ada pasal–pasal yang menurutnya krusial karena bisa menjadi ancaman bagi industri pariwisata, seperti mengenai “kumpul kebo.” Karena, banyak travelers dari berbagai negara terkadang bersama temannya datang berlibur. “Bisa saja pasal itu dipakai alasan untuk sweeping dan lain sebagainya, itu kadang meresahkan para turis. Demikian buat anak–anak muda yang laki–laki dan perempuan turis bersama temannya, walaupun itu dalam hukum dianggap legal tapi itu kan bisa berimplikasi negatif. Tamu ketakutan ditangkap padahal tidak mudah ditangkap, kecuali ada laporan dari keluarga, dan pasangannya,” bebernya.

Baca juga:  Awalnya Kasus Pencurian Powerbank, Warga Sumba Aniaya Pegawai PDAM

Menurut Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS. Konsep RUU KUHP sudah ada sejak tahun 1968. Dari sejak itu terus dibahas hingga saat ini. RKUHP perlu diperbaharui karena tiga alasan.

Yaitu alasan politis. “Masa kita sudah 74 tahun merdeka, tidak punya hukum sendiri,” sebutnya.

Alasan kedua yaitu sosiologis. Hukum itu harus sesuai dengan masyarakatnya dan budayanya.

Alasan ketiga adalah praktis. Karena KUHP yang sekarang adalah warisan Belanda yang menggunakan Bahasa Belanda. “Jadi apa yang dipakai pegangan hakim, jaksa, dan lainnya itu sebetulnya bukan terjemahan resmi. Itu terjemahan dari Profesor Muliatno, sehingga kita perlu membuat hukum nasional sesuai dengan bahasa dan budaya kita,” jelasnya.

Baca juga:  Ledakan di Polsek Astanaanyar, Pelaku Gunakan "Bom Panci"

Yang menjadi krusial bagi Bali karena daerah pariwisata adalah pasal 417 masalah perzinahan. Perzinahan ini bisa dipidana jika ada delik aduan mutlak. Artinya yang boleh mengadukan hanya suami, istri, orang tua atau anaknya, yang lain tidak boleh. Sehingga menurutnya perzinahan tetap diatur dalam KUHP tersebut karena harus ada delik aduan.

Pasal lain, masalah “kumpul kebo” pada pasal 419 yang sebelumnya tidak diatur, sekarang diatur.

Terhadap tindakan ini, menurutnya sulit untuk dibuktikan. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan meninjau kembali masalah “kumpul kebo” ini. Menurutnya aturan tentang “kumpul kebo” agar diserahkan pada masyarakat lokal.

Ketiga, pasal 418 tentang masalah hubungan seksual antara laki–laki dan perempuan, tapi belum terikat ikatan perkawinan, namun terjadi kehamilan. Menurutnya pasal ini juga dikembalikan pada masyarakat lokal. “Kita ini daerah pariwisata, hal–hal semacam itu sangat riskan, sangat rawan apalagi nanti kalau itu sudah disahkan diterapkan, ini akan berat karena pembuktiannya sulit. Karena hukum pidana pembuktiannya harus sempurna,” tandasnya.

Baca juga:  TPA Bengkala Overload

DPD RI Terpilih, Mangku Pastika mengatakan adanya rencana revisi KUHP menimbulkan opini pariwisata Bali terganggu. Tidak hanya Bali, tapi pariwisata Indonesia juga bisa terganggu.

Pengaturannya harus dilakukan dengan bijaksana. Menurutnya, kalangan masyarakat harus bergerak tidak hanya pemerintah. “Kalau pemerintah pusat sudah menyetujui, maka tidak ada cara lain. Karena kalau melawan, itu namanya membangkang. Itu tidak boleh terjadi. Tapi kalau elemen – elemen masyarakat yang bergerak seperti ini, saya rasa masih cukup waktu. Apalagi Presiden sudah meminta pada DPR untuk menunda pembahasan itu,” ungkapnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *