Ilustrasi. (BP/dok)

Koruptor kini menjadi musuh bersama. Menindak koruptor adalah keharusan dan mestinya tanpa pandang bulu. Elit parpol, pejabat negara atau akademisi jika terjerat pidana korupsi harus ditindak. Kesepahaman dalam menindak koruptor adalah hal wajib dilakukan di negeri ini jika kita ingin maju dan mewujudkan pemerintahan bersih.

Jika parpol terjerat korupsi, akibatnya publik tidak percaya terhadap parpol (demokrasi). Jika parpol bersih dari korupsi, maka demokrasi menjadi kokoh. Dalam hal ini keberadaan KPK dan parpol dapat bersinergi menguatkan demokrasi.

Sehingga setidaknya ada sejumlah alasan besar untuk menguatkan atau tidak melemahkan, dan mengamputasi kewenangan KPK, yaitu korupsi telah menyebabkan pelambatan atas pertumbuhan ekonomi dan capaian minimal, hasil-hasil pembangunan yang sangat dirasakan oleh rakyat yang ditenggarai bersumber dari besarnya anggaran yang dikorup, penyalahgunaan anggaran dan penggunaan yang tidak efisien.

Baca juga:  Tumbuhkan Kepedulian pada Anak

Selebihnya, Sekalipun pemberantasan korupsi dijadikan agenda besar dalam pemerintahan Jokowi-Jk dan sudah banyak pula politisi, hakim, jaksa, dan birokrat yang telah dijerat hukuman, pemberantasan korupsi belum optimal memberi efek penjeraan kepada para koruptor dan korupsi masih merajalela, ini menandakan libido keserakahan elit kekuasaan korup masih besar di dalam tubuh birokrat.

Postur anggaran belanja Negara 2019 diperkirakan sebanyak Rp 2,461 triliun, suatu jumlah yang tidak sedikit dan rentan degan perilaku koruptif penyelenggara Negara. Maka, sekalipun APBN memiliki postur yang semakin baik dengan defisit yang semakin rendah dan memiliki keseimbangan menuju positif, korupsi tetap menjadi hantu yang menakutkan dan kejahatan tindak pidana korupsi diyakini menyebabkan kemiskinan, ketidakadilan dan diskriminatif sebagai sumber utama kegaduhan dan disintegrasi bangsa.

Baca juga:  Hasto Kristiyanto Dipanggil KPK Terkait Kasus di Kemenhub

Hal tersebut nampak telanjang di depan mata, dan salah satu kebijakan  strategis yang dipandang dapat menjawab tantangan tersebut adalah penguatan substansi pengaturan dan  kelembagaan KPK bukan dilemahkan melalui UU KPK yang baru, setidaknya memuat kemauan rakyat yang menghendaki korupsi dihabisi, bukan di-generate diturunkan kepada generasi berikutnya. Untuk mencapai maksud tersebut harus diikuti upaya pencegahan dan penindakan by design yang semakin baik. Kenaikan Peringkat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dapat digunakan sebagai acuan.

Baca juga:  Rektor Unila Ditangkap KPK

Jika pada awal pemerintahan Jokowi tahun 2014 IPK kita 34, sekarang menjadi 38. Meskipun bukan lompatan besar, tetapi menunjukkan adanya  perbaikan, terutama deregulasi dalam pelayanan publik dengan memangkas aturan-aturan yang bisa menciptakan peluang terjadinya korupsi, pembentukan cyber-pungli, dirilisnya tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi dan lain-lain, hal positif ini harus dipertahankan dan ditingkatkan melalui penambahan anggaran, menguatkan kepolisian, kejaksaan, KPU agar membangun jaringan demokrasi sehat, reformasi birokrasi, membangun koneksi antarbadan pengawasan internal dengan BPKP, BPK dan sekaligus memperkuat lembaga-lembaga pengawasan internal. Sehingga pemberantasan korupsi dilakukan tidak hanya oleh KPK, tapi semua komponen lembaga Negara dan ASN.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *