Ilustrasi. (BP/dokumen Swara Tunaiku)

Ada perasaan bangga manakala setiap tahun melihat beberapa perguruan tinggi menggelar acara yudisium maupun wisuda para lulusannya. Ada gelak tawa serta canda.

Bahagia tentu saja. Begitu juga para orangtua mereka. Sudah pasti. Siapa yang tidak senang serta bangga melihat putra-putri mereka lulus sebagai sarjana dari berbagai strata. Sangat jamak dan manusiawi. Semua pasti bangga.

Namun, di samping bangga, kita juga miris. Betapa tidak, mereka, para lulusan itu jumlahnya ribuan. Dari disiplin ilmu sosial  maupun eksakta. Dari Sarjana Hukum sampai Dokter. Ke mana mereka setelah ini? Sungguh, ini bukan meremehkan. Bukan mengecilkan arti perjuangan serta perjalanan sukses mereka. Kita sepakat soal ini, kita bangga terhadap mereka. Tetapi setelah itu, bagaimana?

Apakah mereka sudah siap mengabdi sesuai dengan Tri Darma Perguruan Tinggi? Itu idealnya. Faktualnya, apakah mereka sudah bisa langsung diserap pasar? Sudah siap kerja? Apakah mereka nantinya tidak justru menambah deretan sarjana pengagguran yang sudah begitu panjang?  Tentu, ini yang membuat miris. Ini yang membuat hati galau setelah kebahagiaan itu. Ini juga manusiawi. Terus bagaimana pemecahannya?

Baca juga:  Bali Perlu Renstra Pertanian Produktif dan Inovatif

Kalau cuma mengandalkan niat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), tentu kesempatan peluang terbatas. Kalau juga ingin terjun ke bidang swasta, tentu banyak saingan.  Peluang kerja memang sedikit, hanya mereka yang benar-benar siap yang akan diterima.

Siap dalam artian mereka sudah punya link and match antara dispilin ilmu dan kesempatan pasar yang sudah menunggu. Mereka adalah yang memang terpilih. Tetapi jangan lupa, ada juga sekelompok orang yang memang beruntung.

Baca juga:  Tanggap Merespons Perubahan Zaman

Mempunyai  segala sesuatu yang membuat perjalanan karier mereka tampak mulus. Tetapi, seberapa besarnya jumlah yang model begini? Tentu kecil. Lalu, sisanya kemudian ke mana? Tidak tahu yang jelas, mereka menganggur.

Tentu permasalahn tidak akan selesai begitu saja. Semua pihak mesti bertanggung jawab, pemerintah, swasta, keluarga, lingkungan, serta yang bersangkutan. Jangan pasif, tumbuhkan sikap kreatif serta inovatif. Sekali lagi, jangan menunggu, bergeraklah.

Pemerintah serta kalangan  swasta mestinya memberi ruang yang lebar kepada generasi ini. Tidak semuanya mereka pandai serta inovatif. Tumbuhkan sikap swausaha. Enterpreneur muda mesti ditumbuhkan.

Pada zaman digital serta media sosial ini, siapakah yang selalu ingin maju dan selalu ingin tahu merupakan modal utama untuk bersaing. Di samping tentunya terus belajar dan mengasah kompetensi. Pemerintah dan swasta mesti membantu membukakan jalan.

Baca juga:  Kesadaran Mengawal Bahasa Bali

Asosiasi terkait juga ikut turun tangan. Jangan biarkan jumlah pengangguran semakin banyak. Selalu tumbuhkan sikap optimis, kreatif, dan inovatif.  Semua mesti ada solusinya. Mari bergerak ke arah kemajuan.

Menunggu dan hanya berharap menjadi ASN mungkin akan menjadi sia-sia. Setiap tahun, persaingan akan makin keras dan ketat. Apalagi dalam setahun, ribuan sarjana baru akan lahir dan menyebar. Sementara pertumbuhan dunia kerja nyaris stagnan bahkan mengecil.

Ketika krisis ekonomi menguat, jangankan yang tidak bekerja, banyak pihak yang sudah bekerja pun terancam menjadi pengangguran. Makanya, gerakan inovatif dan mendukung lahirnya wirausahawan muda harus terus digaungkan.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *