Oleh Supartha Djelantik
Demokrasi adalah kekuasaan rakyat dalam mengatur dan mengurus kehidupannya melalui negara. Menurut Bryan D. Jones, demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang diorganisasikan sesusai dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, persamaan politik, musyawarah dan kekuasaan dalam tangan rakyat.
Maka hakikat demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara dengan pemerintahan yang berbasis rakyat yang diselenggarakan melalui pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan (separation of power) dipengaruhi oleh teori John Locke dalam buku “Two Treaties of Goverment” dan Montesquieu mengemukakan tiga kekuasaan di dalam negara yang masing-masing independen.
Pembagian kekuasaan bertujuan agar tidak terjadi kekuasaan yang absolut dan adanya penyebaran tugas negara sehingga lebih efisien dan efektif.
Doktrin pemisahan kekuasaan merupakan sebuah teori pemerintahan yang bertujuan untuk melindungi kebebasan dan memfasilitasi pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara melakukan spesialisasi kekuasaan secara memadai. Namun, sekalipun doktrin ini mudah disepakati, NKRI sebagai hasil kesepakatan bersama untuk mewujudkan mimpi besar hidup yang membebaskan, damai, rukun, adil, dan sejahtera, kenyataannya menunjukkan tidak jarang kekuasaan mengembangkan doktrin dengan cara yang menyimpang dari tujuan kesepakatan itu, yang dipengaruhi oleh praktik politik, kebiasaan, dan prinsip-prinsip hukum negara.
Indonesia sebagaimana negara-negara modern di dunia sepakat dan meyakini bahwa praksis demokrasi adalah kunci bagi kemakmuran rakyat, tapi harapan tersebut jauh panggang dari api. Tak kunjung tiba ketika demokrasi dibajak ego-sektoral dan keserakahan elite kekuasaan, melalui politik transaksional, dinasti, dan nepotisme, yang melahirkan korupsi sebagai kapal keruk penyedot kekayaan negara.
Sebenarnya, demokrasi yang dibelenggu oleh kalangan elite telah terjadi sejak proses gelombang demokratisasi ketiga bergulir. Banyak rezim yang hanya menjadikan demokrasi sebagai prasyarat minimal untuk mendapatkan label demokratis, tapi pada tataran teknis, publik justru semakin terjauhkan dari proses politik dan proses pengambilan kebijakan. Inilah yang disebut Colin Crouch sebagai fenomena post democracry.
Isu yang diangkat sangat menarik, walaupun disayangkan, substansi yang dibawa Colin Crouch tidak terlalu populer, banyak indikasi yang dikatakan Colin yang sebenarnya eksis dalam operasionalisasi demokrasi dan kemudian di daratan Amerika, Larry Diamond juga akhirnya menyimpulkan bahwa telah terjadi resesi demokrasi di negara-negara yang awalnya sempat terkena sapuan gelombang ketiga demokrasi versi Samuel P. Huntington.
Selanjutnya, tangkapan Larry Diamond diamini oleh Francis Fukuyama dalam karya penghormatannya terhadap Samuel Huntington, yakni Political Decay dan Political Order (judul ini juga digunakan oleh Huntington pada tahun 1960-an). Indikasi yang disampaikan Colin, diselidiki oleh Diamond, dan diamini oleh Francis Fukuyama, bahwa kehidupan demokrasi dalam sebuah negara pada akhirnya hanya perkara prosedural.
Pemilu dijalankan, lembaga demokrasi dilengkapi, media dibiarkan bebas, dan lain-lain, tapi keputusan publik tetap mutlak terletak di tangan-tangan oligarki ekonomi politik, alias di tangan-tangan beberapa orang saja. Diamond dan Fukuyama menyebutnya patrimonialisme politik dan patron-klientelisme, sementara Colin Crouch menyebutnya neo-aristocratic system.
Persamaan dari ketiganya adalah bahwa demokrasi pada akhirnya hanya perkara seremoni di satu sisi, gegayaan, sok demokratis, biar trendi secara politik, tapi di sisi lain kenyataannya hanya digunakan oleh oligar-oligar untuk membangun impresi bahwa daerah kekuasaannya sudah demokratis, sementara kepentingan mereka terselamatkan.
Di ranah pengambil keputusan, ternyata demokrasi sudah selesai saat pemilih pulang dari bilik suara lalu kembali berjibaku dengan kehidupan masing-masing. Kedaulatan dianggap sudah berpindah, bertransformasi menjadi kekuasaan dan wewenang yang kemudian dimonopoli oleh beberapa obligar saja. Lama-kelamaan, hal yang demikian melahirkan tatanan masyarakat yang juga bersifat post democratic seolah-olah demokrasi milik mereka.
Coba perhatikan gaya dan mimik para elite politik dan pejabat negara di acara ILC TV-One, sekelas menteri berteriak seolah mereka sudah menjalankan segala aturan yang dipersyaratkan dan paling tahu tentang rumusan perundang-undangan, gayanya seperti borjuis, merendahkan mahasiswa seolah-olah tidak tahu apa-apa. Permasalahannya tidaklah sesederhana yang dipikirkan mereka, mungkin betul mahasiswa tidak mengetahui atau membaca UU KPK yang direvisi atau RKUHP yang telah diketok palu.
Penyulut utama adalah revisi UU KPK yang terkesan janggal, terburu-terburu, dan cenderung secara implisit justru meredupkan marwah KPK sebagai tameng antikorupsi nasional. Boleh jadi, KPK bukan malaikat, bukan institusi tempat orang-orang suci, tapi ada misi suci yang tersimpan di sana.
Dan, misi tersebut adalah salah satu harapan yang sempat menggelora di saat transisi demokrasi sekitar dua puluh tahun lalu. Alangkah baiknya DPR dan pemerintah berkomunikasi secara intens dengan elemen-elemen masyarakat yang selama ini tegar mempertahankan eksistensi masyarakat kecil.
Dalam kasus revisi UU KPK, gejala post democracy kental terjadi. DPR dan pemerintah menafsirkan sendiri skala, tingkatan, dan cakupan kebutuhan revisi tanpa banyak berkomunikasi dengan aktor-aktor utama pegiat antikorupsi di satu sisi dan publik yang diwakili mahasiswa. Inilah persoalan awal yang “menyinggung perasaan” mahasiswa, yang akhirnya memanggil mereka untuk kembali membuktikan diri di hadapan publik, bahwa mahasiswa adalah kekuatan publik, di luar institusi pemerintah dan di luar partai, yang tak bisa dipinggirkan di dalam proses pembuatan kebijakan strategis, sekelas UU KPK.
Tetapi, mereka hadir membawa aspirasi hati nurani murni rakyat bahwa apa yang dipandang baik dan buruk oleh mereka. Korupsi di hadapan mereka adalah amoral secara sosial dan kejahatan secara hukum dan hukum adalah instrumen untuk mengakhiri/menghilangkan kejahatan, agar tercipta masyarakat yang dikehendaki.
Dalam konteks makro seperti di atas, maka jelas misi mahasiswa adalah mulia, suci, tak mungkin ditunggangi. Para pihak, yang bisa datang dari mana saja, kemudian menunggangi pergerakan masif tersebut dengan kepentingan-kepentingan naif seperti penolakan pelantikan presiden, penurunan presiden, khilafah, dan sejenisnya.
Peluang bermain “jorok” tak melulu dinikmati oleh lawan politik penguasa, dari lingkaran penguasa sendiri pun bisa saja, tergantung skill para buzzer dalam mem-framing isu dan situasi. Inilah yang harus dibuktikan oleh mahasiswa kepada publik, bahwa pergerakan masif yang dilakukan adalah bagian dari misi nasional untuk mengembalikan napas suci demokrasi dan menghindari munculnya gejala post democracy, bukan untuk bermain-bermain dengan salah satu aktor politik praktis, baik di istana maupun di pihak penentangnya.
Pembajakan Demokrasi
Korupsi menggali dalam-dalam kemiskinan, melumpuhkan sendi kehidupan dan menciptakan ketidakadilan, menjungkirbalikkan dan penebar virus merobohkan pilar-pilar demokrasi. Ada kelakar di masyarakat bahwa pada masa Orde Lama korupsi dilakukan di bawah meja, pada masa Orde Baru korupsi dilakukan di atas meja (terbuka) dengan tidak ada rasa malu, kemudian pada masa reformasi sekalian mejanya yang dikorupsi.
Setiap upaya atau gerakan pemberantasan korupsi akan mendapat pelemahan dan perlawanan langsung dari para koruptor yang didukung elite koruptif yang dilakukan dengan cara yang paling sederhana sampai tindakan yang paling banal, yaitu penghancuran melalui sendi-sendi yang paling mendasar. Kejahatan dirasakan sebagai kewajaran yang diatur melalui hukum, sehingga korupsi menjadi kejahatan by design, sebagai banalisme korupsi pada akhirnya menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah sistem.
Korupsi adalah buruk secara moral. Namun, karena korupsi dilakukan massal dan secara periodik, lama-lama cakupan moralitas korupsi berubah menjadi sesuatu yang dapat dibenarkan paling tidak untuk komunitas mereka (para pelaku) dan dapat meluas secara kelembagaan, yang akhirnya ukuran sebuah kebenaran runtuh ke dalam jurang yang terdalam karena hampir semua orang korup, yang lambat laun justru menjadi standar sekaligus aturan.
Setiap rezim kekuasaan memiliki kekhasan mengenai sistem hukum yang diberlakukan, yang disebabkan situasi dan kondisi yang berubah. Kekhasan inilah yang menjadi ciri suatu periode kekuasaan, sistem dan budaya hukum yang berlaku berbeda dengan kekuasaan yang lain. Philippe Nonet dan Philip Selznick dengan jelas membedakan keadaan dasar tentang hukum yang berlaku di masyarakat mejadi tiga konsep yaitu: (1) Hukum Represif, yaitu hukum sebagai alat kekuasaan represif, yang secara khusus difungsikan untuk mempertahankan status quo penguasa yang kerap kali dikemukakan dengan dalih menjamin ketertiban. (2). Hukum Otonom, hukum sebagai suatu pranata yang mampu menetralisir represi dan melindungi integritas hukum itu sendiri.
Sebagai reaksi dari hukum represif dan untuk membatasi kesewenang-wenangan penguasa. Hukum otonom tidak mempermasalahkan dominasi kekuasaan dalam orde yang ada maupun orde yang hendak dicapai. Hukum otonom merupakan model hukum the rule of law legitimasi hukum otonom terletak pada kebenaran prosedural hukum, bebas dari pengaruh politik sehingga terdapat pemisahan kekuasaan, kesempatan untuk berpartisipasi dibatasi oleh tata cara yang sudah mapan.
Pada waktu ini timbul reaksi-reaksi terhadap hukum yang otonom ini, yaitu dalam bentuk kritik terhadap rasa puas yang bersifat dogmatis terhadap kekakuan legislatif dan terhadap kecenderungan-kecenderungan yuridis yang asing terhadap dunia kehidupan umum yang nyata. (3) Hukum Responsif, yaitu hukum sebagai suatu sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat.
Dalam berbagai lapangan hidup timbul keinginan untuk mencapai hukum responsif yang bersifat terbuka, terhadap perubahan-perubahan masyarakat dengan maksud untuk mengabdi pada usaha meringankan beban kehidupan sosial dan mencapai sasaran-sasaran kebijakan sosial seperti keadilan sosial, emansipasi kelompok-kelompok sosial yang dikesampingkan dan ditelantarkan serta perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Dalam konsep hukum responsif ditekankan pentingnya makna sasaran kebijakan yuridis dan reaksi kebijakan serta pentingnya partisipasi kelompok-kelompok dan pribadi-pribadi yang terlibat dalam penentuan kebijakan. Nonet dan Selznick tidak bermaksud bahwa penggunaan hukum merupakan alat untuk mencapai sasaran-sasaran yang ditetapkan secara sewenang-wenang, tetapi hukum yang mengarahkan pada perwujudan nilai-nilai yang terkandung dalam cita-cita dan kehendak yuridis dari seluruh masyarakat.
Nilai-nilai ini bukan hal yang telah menjadi kebijakan pemerintah, tetapi nilai-nilai ini harus tercermin secara jelas di dalam praktik penggunaan dan pelaksanaan hukum, sehingga dalam penghayatannya nilai-nilai ini mampu untuk memberikan arah pada kehidupan politik dan hukum. Jadi, hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan ia memperluasnya untuk mencakup keadilan substantif.
Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah (a) pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; (b) pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Mungkin kita dapat mengatakan bahwa tanpa partisispasi, pemerintah dan administrasi akan menjadi represif dan tanpa pemerintahan yang baik, maka partisipasi akan menjurus kepada pemerintahan oleh kepentingan-kepentingan dari pihak yang kuat. Rezim otoriter sudah tentu berbeda dengan rezim demokrasi, sebagaimana diketahui demokrasi di dalam dirinya mempunyai mekanisme untuk mengontrol dirinya untuk menjamin terselenggaranya sistem kekuasaan dan terjaganya hak-hak rakyat, dan terselenggaranya kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, good governance and clean govermenment sesuai dengan konstitusi.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan benar (demokratis) dapat mengurangi korupsi, mengefektifkan anggaran untuk tercapainya sasaran pembangunan. Hal tersebut dapat terwujud karena demokrasi mengusung dua landasan, yaitu: (1) partisipasi publik dan akses informasi yang terbuka lebar-lebar, sehingga setiap penyalahgunaan kekuasaan idealnya bisa ditekan; (2) demokrasi punya prosedur formal kontrol melalui penyelenggaraan pemilu secara berkala, dengan mendorong tampilnya politisi bersih, dan berintegritas, dengan mendorong partai atau politikus korup bisa “ditendang” ke luar lapangan agar tidak dicalonkan menduduki jabatan publik. Untuk itu, parpol memainkan peran penting dalam agenda perang melawan korupsi.
Penulis, dosen Fakultas Hukum Universitas Warmadewa