Ilustrasi. (BP/ist)

Korupsi kini menjadi musuh bersama. Kondisi ini tentu kita harus sikapi dengan langkah yang tegas dan terukur. Ketegasan menindak pelaku korupsi haruslah melibatkan semua elemen bangsa. Parpol sebagai salah satu elemen yang melahirkan kader pemimpin termasuk wakil rakyat, justru memiliki peran yang strategis.

Keterlibatan parpol dalam mengatasi dan menekan pelaku korupsi haruslah mulai dari komitmen elite partainya. Ke depan, operasional parpol jangan lagi terlau berharap dari sumbangan kader.

Apalagi memaksakan pendapatan berlebihan dari kader yang duduk di legislatif dan eksekutif. Sepanjang permodalan parpol mengandalkan donasi dari kader yang dianggap menimati keuntungan politis, maka parpol sulit  diharapkan perannya memberantas korupsi di negeri ini.

Selama ini, banyaknya kepala daerah terjaring korupsi dan banyak pula legislator tersandera di penjara justru dominan politisi. Mereka melakukan perilaku korup karena proses awal menduduki jabatan juga mahal.

Baca juga:  Soal OTT di Bondowoso, Kejaksaan Agung akan Sikat Habis Oknum Salah Gunakan Kewenangan

Mahar politik yang banyak diterapkan partai dalam menjaring pemimpin membuat pejabat publik tersandera beban utang pada awal menjabat. Untuk mengkompensasi utang-utang ini, maka praktik korupsi dan suap dilakukan.

Ini memang ironis. Ketika jargon pemerintah bersih dan bermartabat menguat, perilaku korup justru meningkat. Mestinya, integritas haruslah menjadi tolok ukur dalam menempatkan orang dalam jabatan eksekutif maupun legislatif.

Jika parpol terjerat korupsi, akibatnya publik tidak percaya terhadap parpol (demokrasi). Jika parpol bersih dari korupsi, maka demokrasi menjadi kokoh. Dalam hal ini, keberadaan KPK dan parpol dapat bersinergi menguatkan demokrasi.

Sehingga, setidaknya ada empat alasan besar untuk menguatkan atau tidak melemahkan, dan  mengamputasi kewenangan KPK. Di antaranya korupsi telah menyebabkan pelambatan atas pertumbuhan ekonomi dan capaian minimal hasil-hasil pembangunan yang sangat dirasakan oleh rakyat, yang ditengarai bersumber dari besarnya anggaran yang dikorup,  penyalahgunaan anggaran, dan penggunaan yang tidak efisien.

Baca juga:  Melindungi Data Pribadi Masyarakat

Selain itu, sekalipun pemberantasan korupsi dijadikan agenda besar dalam pemerintahan Jokowi-Jk dan sudah banyak pula politisi, hakim, jaksa, dan birokrat yang telah dijerat hukuman, pemberantasan korupsi belum optimal memberi efek penjeraan kepada para koruptor dan  korupsi masih merejalela. Ini menandakan libido keserakahan elite kekuasaan korup masih besar di dalam tubuh birokrat.

Postur anggaran belanja negara tahun 2019 diperkirakan Rp 2,461 triliun. Suatu jumlah yang tidak sedikit dan rentan degan perilaku koruptif penyelenggara negara. Maka sekalipun APBN memiliki postur yang semakin baik dengan defisit yang semakin rendah dan memiliki keseimbangan menuju positif, korupsi tetap menjadi hantu yang menakutkan, dan kejahatan tindak pidana korupsi diyakini, menyebabkan kemiskinan, ketidakadilan  dan diskriminatif sebagai sumber utama kegaduhan dan disintegrasi bangsa.

Baca juga:  Revolusi Mental untuk Revolusi Industri 4.0

Hal tersebut nampak telanjang di depan mata, dan salah satu kebijakan  strategis yang dipandang dapat menjawab tantangan tersebut adalah penguatan substansi pengaturan dan  kelembagaan KPK bukan dilemahkan, melalui UU KPK yang baru setidaknya memuat kemauan rakyat yang menghendaki korupsi dihabisi, bukan di-generate diturunkan kepada generasi berikutnya.

Kehadiran elite parpol untuk menguatkan KPK bisa dijabarkan dengan memberdayakan kadernya di legislatif. Jangan sampai karena banyak elite partai tersandera korupsi, KPK yang justru disandera. Ke depan, harus ada kejujuran dan mentalitas yang kuat untuk memastikan partai politik mendukung upaya-upaya terukur memberantas korupsi.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *