Ilustrasi. (BP/tomik)

Oleh Made Satria Pramanda Putra, A.Md., S.E., S.H., M.M.

Menyebut kata kos atau indekos tentu sudah tidak asing lagi dalam kehidupan sehari-hari. Model usaha ini tetap bertahan dan semakin berkembang di tengah munculnya berbagai bisnis baru. Hal ini adalah wajar, mengingat kebutuhan tempat tinggal (papan) merupakan salah satu kebutuhan dasar setiap manusia.

Di sisi lain, sebagai suatu bisnis rumah kos tentu tidak dapat dipisahkan dari aspek kewajiban perpajakan. Menariknya, sampai saat ini masih terdapat kebingungan di beberapa kalangan mengenai pengenaan pajak atas usaha rumah kos.

Apabila sedikit ditelisik ke belakang, awal mulanya usaha rumah kos dimulai dengan pemilik rumah yang menyewakan kamar miliknya yang tidak terpakai. Seiring dengan perkembangan zaman, makin banyak ditemui berbagai bentuk usaha rumah kos.

Misalnya, dari sisi fasilitas, beberapa rumah kos telah dilengkapi dengan fasilitas penunjang seperti penjaga keamanan, laundry, hingga layanan katering. Pesatnya perkembangan teknologi informasi juga ikut memberikan pengaruh. Usaha rumah kos yang awalnya cukup konvensional kini menjelma canggih dengan memanfaatkan berbagai program dan aplikasi untuk menggaet penyewa sekaligus memudahkan sistem pembayaran.

Perkembangan dalam bisnis rumah kos ternyata belum mampu berjalan selaras dengan kesadaran dan pengetahuan para pihak terkait aspek pemenuhan kewajiban perpajakan. Fenomena tersebut dapat dilihat dari masih terdapat kebingungan tentang jenis pajak yang menjadi kewajiban.

Berdasarkan lembaga pemungutnya, pajak dapat diklasifikasikan sebagai pajak pusat dan pajak daerah. Oleh karenanya, kewajiban atas usaha rumah kos dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek Pajak Daerah dan aspek Pajak Pusat dengan penjelasan sebagai berikut.

Baca juga:  Sembunyi di Bali, Bule Penggelapan Pajak Diciduk dan Dideportasi Rudenim

Regulasi mengenai Pajak Daerah diatur dalam Undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Kemudian, teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati/Wali Kota masing-masing kabupaten/kota.

Sejatinya, pengenaan pajak atas rumah kos telah diatur dan berlaku secara nasional sejak berlakunya UU PDRB. Selain pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P-2) yang sudah dikenal luas oleh masyarakat, masih terdapat jenis pajak daerah lain menjadi kewajiban pengusaha rumah kos.

Pasal 1 angka 21 UU PDRB menyebutkan bahwa Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).

Berdasarkan uraian tersebut, maka diperoleh informasi yang jelas tentang adanya batasan jumlah kamar dalam pengenaan pajak atas rumah kos. Rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh) masuk dalam definisi Hotel.

Dengan demikian, atas layanan dan fasilitas penunjang yang diberikan pengusaha rumah kos merupakan objek Pajak Hotel. Sebagai objek Pajak Hotel, pengenaan pajak atas rumah kos termasuk dalam kategori pajak tidak langsung.

Artinya, pemilik rumah kos adalah wajib pajak yang hanya bertindak selaku pemungut pajak. Dengan demikian, idealnya beban pajak tidak berada pada pengusaha kos melainkan pada penyewa selaku subjek pajak. Pajak dikenakan kepada penyewa atas konsumsi yang mereka lakukan terhadap layanan yang diserahkan oleh pengusaha kos.

Perlakuan berbeda untuk rumah kos dengan jumlah kamar kurang atau sama dengan 10 (sepuluh). Layanan indekos yang diberikan bukan merupakan objek Pajak Hotel, karena tidak memenuhi definisi hotel bila dilihat dari batasan jumlah kamar.

Baca juga:  Barang Donasi dari Luar Negeri Bebas Cukai

Pengaturan tentang batasan jumlah kamar dapat dimaknai sebagai bentuk keinginan pemerintah untuk melindungi irisan pengusaha rumah kos pada tingkat tertentu. Belum lagi, masing-masing daerah otonom dapat menerbitkan peraturan daerah untuk mengatur teknis pemungutan.

Pemerintah daerah dapat menetapkan teknis penyetoran, besaran tariff, hingga kebijakan untuk tidak melakukan pemungutan suatu jenis pajak daerah apabila potensinya dinilai kurang memadai. Tentunya, seluruh pengaturan tersebut dilakukan dengan memerhatikan keadaan dan potensi masing-masing daerah serta tidak betentangan dengan peraturan perundangan di atasnya.

Sejak bulan Januari 2018 dengan berlakunya Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2017 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan, penghasilan dari rumah kos bukan lagi merupakan objek penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan. Terbitnya Peraturan Pemerintah ini dapat dikatakan sebagai respons pemerintah atas keresahan mayoritas pengusaha rumah kos terkait pengenaan tarif 10% dari jumlah bruto nilai persewaaan kamar yang dirasa cukup memberatkan.

Dengan berlakunya aturan tersebut, maka terdapat pengecualian jasa pelayanan penginapan dari pengenaan PPh Final Persewaan Tanah dan/atau Bangunan dengan tarif 10%. Hal ini tertuang pada penjelasan pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah tersebut, bahwa yang dimaksud dengan “jasa pelayanan penginapan” antara lain kamar, asrama untuk mahasiswa/pelajar,  asrama atau  pondok pekerja, dan rumah kos.

Meskipun sejak berlakunya aturan tersebut pengusaha rumah kos tidak lagi dikenakan PPh Final 10%, bukan berarti meniadakan seluruhnya kewajiban perpajakan bagi pengusaha rumah kos. Atas penghasilan yang diperoleh atau diterima tetap merupakan objek Pajak Penghasilan. Pengusaha rumah kos tetap harus melakukan kewajiban perpajakan atas penghasilan dari rumah kos dengan berpedoman pada ketentuan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan.

Baca juga:  Tak Pasang Monitor Pajak, Restoran di Banyuwangi Terancam Ditutup

Bagi wajib pajak pengusaha rumah kos yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp 4,8 miliar, diwajibkan menyetor PPh Final dengan tarif 0,5% dari peredaran bruto setiap bulannya. Sedangkan, bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto di atas Rp 4,8 miliar atau yang tidak memenuhi kriteria Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2018, pengenaan PPh atas penghasilan dari rumah kos dikenai tarif PPh berdasarkan ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan.

Selain PPh, aspek kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga perlu diperhatikan. Jika wajib pajak pengusaha kos telah memenuhi kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) maka terdapat kewajiban pemungutan PPN yang harus dilaksanakan. Tentunya dengan memerhatikan klasifikasi usaha dan batasan rumah kos yang menjadi objek pajak daerah. Hal ini penting guna menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda (double taxation).

Regulasi dan harmonisasi mengenai pengenaan pajak atas usaha rumah kos telah diatur pemerintah melalui berbagai peraturan perundangan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pemerintah pusat melakukan administrasi PPh dan PPN. Sementara itu, pemerintah daerah mendapat porsi administrasi PBB P-2 dan Pajak Hotel. Pada tahap teknis pelaksanaan di lapangan, diharapkan tidak lagi terjadi kebingungan dalam pengenaan jenis pajak pada usaha rumah kos.

Penulis, Tax Specialist, SM Tax Centre

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *