Pesatnya perkembangan pariwisata Bali berdampak terjadinya eksplorasi dan eksploitasi berlebihan terhadap lingkungan Pulau Bali. Masyarakat Bali pun tergoda dan tak tahan terhadap gairah pariwisata yang dibawa nafsu investor.
Sikap mental masyarakat berupa kepedulian dan kepekaan terhadap lingkungan juga berubah. Salah satunya, menjaga ruang publik yang di Bali umumnya lekat sebagai destinasi ritual sakral untuk tidak dikuasi dan dijadikan ruang privat pemilik modal.
Kenyataan ini paling tidak tergambar dari terus munculnya kasus klaim pantai di Bali sebagai milik privat pemilik uang. Jika dulu sering dikeluhkan pengusiran terhadap warga lokal yang hendak menikmati keindahan pantai oleh pihak hotel di sana, oleh penyewa akomodasi di sana.
Kini, malah muncul kasus pantai ditawarkan dan dijual kepada pemilik modal. Padahal, seperti dijelaskan di atas, pantai di Bali selain sebagai ruang publik juga menjadi tempat pelaksanaan ritual sakral masyarakat Bali.
Ini tentu sangat menyedihkan dan menjadi tantangan bagi masyarakat lokal ke depan. Bagaimana mengembalikan pantai di Bali tidak hanya sebagai ruang publik, sekaligus sebagai tempat pelaksanaan ritual yang sakral.
Kita tentu tidak ingin menyaksikan, umat Hindu Bali yang rutin melakukan kegiatan ritual di pantai/laut kebingungan mencari tempat untuk menggelar ritual sakral tersebut. Menjaga pantai sebagai ruang publik demi kelestarian ritual sakral menjadi menjadi tanggung jawab bersama segenap masyarakat.
Semua harus peduli menjaga pantai di Bali agar tidak diperjualbelikan dan jatuh ke tangan pemilik modal lalu beralih menjadi ruang privat eksklusif. Perlu langkah-langkah strategis dan tegas mewujudkan hal ini, agar kasus-kasus pengkavlingan dan pengklaiman pantai tidak terus saja terjadi.
Langkah strategis dan tegas itu, di antaranya sosialisasi terus-menerus untuk membuka pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai sempadan pantai. Bahwa, telah ada aturan tegas mengenai batas pendirian bangunan dari sempadan pantai.
Selama ini, hal ini lebih banyak disosialisasikan dan diketahui oleh para investor atau pemodal yang hendak membangun di dekat pantai. Masyarakat setempat kurang mengetahui dan paham tentang aturan sempadan pantai, sehingga keterlibatan mereka melakukan pengawasan terhadap pelanggaran yang terjadi sangat kurang.
Salah satunya terlihat ketika mereka dilarang melintas atau bermain di pantai depan hotel, mereka tidak bisa melakukan protes atau perlawanan dan menerima terusir begitu saja dari ruang publik yang juga menjadi hak mereka.
Jika pengetahuan dan keasadaran masyarakat terus dibangun tentang aturan sempadan pantai, investor maupun pemilik modal tentu tidak akan bisa seenaknya mengkavling-kavling pantai, mengklaimnya sebagai ruang privasi mereka.
Karena sangat berbahaya dan miris jika sampai pantai beralih dari ruang publik dan tempat ritual sakral menjadi ruang privat eksklusif. Ini sama saja sebagai langkah pengusiran masyarakat lokal dari tanah leluhurnya.
Masyarakat Bali harus berhenti menjadi masyarakat yang terusir dari pantai miliknya. Caranya, dengan menjaga dan mengembalikan pantai sebagai ruang publik dan tempat ritual sakral dari upaya-uapaya transaksional atas nama pariwisata. Pantai di Bali adalah ruang spiritual yang harus dijaga kesakralannya, bukan komoditas untuk diperjualbelikan.