Masyarakat kiranya berperasaan campur aduk manakala Presiden Joko Widodo mengumumkan komposisi kabinetnya. Memang penunjukan anggota kabinet menjadi puncak dari keberhasilan memenangkan pemilihan presiden karena hakikatnya kabinet lah yang menjalankan kebijakan presiden.
Dikatakan campur aduk karena secara jujur harus dikatakan, ada kejutan nama menteri yang menjadi pilihan Presiden Joko Wiododo. Sebagian memang merupakan wajah lama yang menghiasi kaninet masa kepemimpinan Joko Widodo tahun 2014-2019. Sebagian merupakan wajah baru. Pada titik inilah, kelihatan perasaan tersebut.
Menyebut Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan misalnya, mungkin masyarakat sudah tahu dan paham. Namun, manakala menyebutkan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertananan, membuat masyarakat campur aduk.
Ini merupakan hal yang wajar karena orang semua tahu bahwa Prabowo merupakan kompetitor Joko Widodo dalam kandidasi presiden selama dua periode. Apabila Indonesia menjalankan demokrasi yang murni dan presiden menjalankan hak prerogatifnya, banyak yang berpandangan Prabowo sebaiknya menjadi penyeimbang politik di luar kabinet.
Ini sangat diperlukan dalam khazanah demokrasi sebagai mekanisme penjagaan keseimbangan. Prabowo diperlukan untuk mengkritisi pemerintahan, dan terlebih lagi partai politik di mana ia menjadi ketua umum, yaitu Gerindra, menjadi corong kekritisan tersebut.
Melihat dari sumber daya dan perilaku politik yang terjadi pada pemilu, baik tahun 2014 maupun 2019, hal itu sangat memungkinkan. Apalagi kita tahu penampilan Partai Gerindra cemerlang pada tahun 2019. Partai ini berhasil menduduki posisi kedua.
Tetapi, seperti yang sudah kita ketahui bersama, bahwa Presiden Joko widodo ternyata memilih Prabowo sebagai Menteri Pertahanan. Inilah yang menjadi pilihan dan memang Prabowo Subianto telah menyetujuinya.
Dalam konteks perkembangan politik Indonesia, mungkin ini perlu sekaligus menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk menyaksikan perilaku politik ke masa depan. Kita sebagai bangsa sesungguhnya ingin dan telah mewujudkan sistem kehidupan yang seimbang tanpa gejolak. Ini terlihat pada segmen kehidupan sosial mana pun, bahkan dapat kita lihat pada nilai-nilai tradisional.
Selametan yang dilakukan masyarakat di Jawa adalah upaya mencapai keseimbangan sosial, menekan tantangan kehidupan dan membagi bahagia serta kesenangan bersama. Ada pesta tarian pada masyarakat Indonesia bagian timur setelah berhasil berburu, lalu makan bersama-sama. Di Bali keseimbangan sosial itu adalah Tri Hita Karana, keseimbangan antara manusia, Tuhan dan Lingkungan.
Jadi, kita menafsirkan bahwa terbukanya Presiden Joko Widodo terhadap kompetitornya saat pemilihan presiden yang lalu, tidak lain untuk mencapai keseimbangan sosial tersebut. Namun, tetap ada pekerjaan rumah kita bersama untuk memikirkan negara Indonesia. Sudah lebih dari dua dekade reformasi itu berjalan, tetapi tidak ada kemajuan yang berarti dalam tatanan demokrasi Indonesia.
Demokrasi yang diharapkan akan dapat mencerdaskan masyarakat melalui pilihan-pilihannya, ternyata tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut. Kita merasakan, paling tidak pada tataran isu, ada suap yang diberikan oleh calon politisi kepada masyarakat agar memilih yang bersangkutan. Praktik politik seperti ini tidak habis-habisnya di Indonesia. Juga ada isu seperti itu pada pemilihan bupati, gubernur dan sebagainya.
Namun, kini dengan adanya kesediaan Joko Widodo menerima kompetitornya menjadi anggota kabinet, juga Prabowo bersedia menerima, maka nampak inilah mungkin cara yang paling tepat untuk memelihara ketertiban di Indonesia. Bolehlah kita sebut sebagai demokrasi ala Indonesia yang cenderung mengedepankan kerja sama atau gotong royong.