SURABAYA, BALIPOST.com – Jumlah industri di Jawa Timur (Jatim) sebanyak 817.000. Dari jumlah itu, sekitar 67 persen adalah industri agro. Sedangkan sisanya adalah non agro.
Karena itu, ada joke dari Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa, yang menyatakan, petik, olah, kemas dan jual perlu ditindaklanjuti. ‘’Sebab, istilah petik dan olah pada industri agro,’’ kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur, Dr. Ir. Drajat Irawan, SE., MT., ketika berbicara dalam ‘Forum Komunikasi/Forkom & Temu Bisnis Industri berbasis Agro Jatim di Surabaya Rabu (30/10).
Menurut dia, industri agro membuka lapangan kerja. Selain itu juga memberikan nilai tambah kepada masyarakat, dan menjadi salah satu faktor yang mampu mengurangi tingkat kemiskinan di masyarakat.
“Industri Agro Jatim menyumbang 20 persen PDB yang jumlahnya Rp 20 triliun,” jelasnya.
Karena itu, dalam Forkom dan Temu Bisnis Industri Berbasis Agro Jatim ini merupakan kesempatan eksplorasi permasalahan, tantangan, peluang bisnis, dan strategi pengembangan industri agro Jatim.
Bahkan, kata dia, dalam pameran industri agro di Nusa Tenggara Barat/NTB omzet Jatim mencapai Rp 603 miliar.
Sedangkan tahun sebelumnya di Jakarta dalam pameran yang sama tembus Rp 700 miliar dan saat di Sulawesi Selatan (Sulsel) sekitar Rp 250 miliar. ‘’Yang menggembirakan, pertumbuhan industri di Jatim mencapai 7,3 persen di atas pertumbuhan nasional yang hanya 3,4 persen,’’ kata Drajat Irawan.
Kepala Bidang Industri Agro Disperindag Jawa Timur, Heri Wiriantoro, S.T, MMT., menambahkan, sektor industri pengolahan pada semester I tahun 2019 tumbuh sebesar 7,05 persen, masih banyak bergantung pada bahan baku impor. Impor bahan baku sampai dengan Agustus 2019 mencapai 78,09 persen dari total nilai impor.
Untuk itu, kata dia, upaya subtitusi bahan baku impor harus terus ditingkatkan melalui optimalisasi potensi di masing-masing daerah. Tantangan lain adalah begitu masif dan cepatnya perkembangan ekonomi digital.
Ekonomi digital ini harus diarahkan secara tepat agar mendorong penguatan industri berbahan baku lokal. Industri 4.0 dengan demikian tidak semata-mata dimaknai sebagai digitalisasi dan efisiensi proses produksi, tetapi juga optimalisasi penggunaan bahan baku lokal untuk mendukung subtitusi impor. (Bambang Wili/balipost)