Petani membajak sawah. (BP/Dok)

Pariwisata berbasis pedesaan kini menguat di Bali. Ini menandakan potensi tergerusnya lahan pertanian juga menguat. Banyak wisata desa yang menjadikan lahan pertanian sebagai objek dan pengembangannya membutuhkan fasilitas. Kondisi ini akhirnya membuat lahan pertanian harus dikorbankan untuk parkir, fasilitas pembangunan wisata desa, serta untuk fasilitas penunjang lainnya.

Untuk itulah harus ada kajian yang matang untuk menentukan kelayakan suatu desa dikembangkan menjadi wisata desa. Jangan mengejar target terbentuknya wisata desa tanpa melakukan pengawalan yang jelas. Kualitas wisata desa hendaknya memerhatikan aspek lingkungan. Jangan sampai program pengembangan wisata desa ini justru menghancurkan tata kelola sektor pertanian dan membuat generasi muda menjauh dari pertanian.

Untuk itulah harus ada kebijakan terukur menjaga pertanian Bali. Kebijakan haruslah berbasis petani dengan membuka ruang yang lebih terbuka kepada petani untuk bisa menikmati kesejahteraan.

Baca juga:  Jadilah Pahlawan Margarana Masa Kini

Anjloknya harga produk pertanian dan tak sebandingnya harga produk pertanian dengan produk teknologi membuat sektor pertanian akan dijadikan pilihan alternatif. Ini juga tak akan mampu menarik minat generasi muda untuk menggeluti pertanian. Terlebih pada era milenial ini. Minat untuk menekuni pertanian nyaris menipis. Ini kondisi yang patut segera disikapi dengan mendesain kebijakan pertanian yang diminati generasi muda.

Tentu kita tak bisa hanya menyiapkan generasi petani tanpa melihat prospek pemasaran produk pertanian ke depan. Dengan adanya kebijakan Gubernur Bali dengan perda perlindungan produk pertanian lokal dan penyerapannya, hal ini tentu bisa menjadi harapan baru. Namun, penjabaran program ini juga harus jelas, tak bisa berhenti pada tataran regulasi.

Keberpihakan pemerintah dengan regulasi pertaniannya ini haruslah direalisasikan dalam bentuk yang lebih riil. Pelibatan berbagai komponen tentu akan mempercepat terjadinya tata kelola yang lebih berpihak pada pertanian Bali.

Baca juga:  Revolusi Mental untuk Revolusi Industri 4.0

Dengan kebijakan ini maka sudah saatnya pengelolaan pertanian Bali berorientasi pada terjaganya lahan-lahan pertanian, tata kelola irigasi, dan berlanjutnya regenerasi petani. Tanpa hal ini, Bali akan memasuki masa suram peradaban pertanian yang pada gilirannya akan bersinggungan dengan budaya Bali.

Saat ini tidak ada satu pun negara besar yang berdaulat menyerahkan kebutuhan pangannya kepada negara lain. Ini penting karena berkaitan dengan gizi, kesehatan dan kesejahteraan penduduknya. Dalam jangka pendek, menengah, dan panjang, masalah pangan akan berkaitan dengan kemampuan SDM dalam berkompetisi dengan negara lain.

Melihat kenyataan ini, seharusnya pemerintah daerah di Bali mulai berpikir untuk tetap menjadikan sektor pertanian sebagai ujung tombak perekonomian.

Dari beberapa pengalaman, ternyata pariwisata tidak lagi dapat dikedepankan sebagai ujung tombak perekonomian. Hal ini disebabkan tingginya tingkat ketergantungan sektor ini kepada fluktuasi perubahan situasi global. Kondisi yang mengarah pada keterpurukan pariwisata saat ini, agar dijadikan momentum untuk memikirkan upaya terobosan pengembangan pertanian modern yang tetap berlandaskan tradisi.

Baca juga:  Memilih Pemimpin yang Berintegritas

Di Bali seharusnya persoalan petani dapat segera dipecahkan. Asalkan semua komponen mendukung hal tersebut. Bali mempunyai industri perhotelan yang begitu banyak, dengan turis yang jumlahnya jutaan. Jika ditangani secara benar, profesional dan berkeadilan, tidak ada alasan petani sawah dan kebun kita menderita.

Hasil perkebunan dan pertanian itu akan dapat diserap oleh hotel-hotel berbintang yang ada. Bayangkan, hotel akan mendapatkan sayur dan hasil pertanian yang segar karena jarak yang dekat. Kalau ini tidak dijadikan solusi, maka sampai kapanpun sektor pertanian Bali takkan dapat tercepahkan secara berkeadilan.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *