MANGUPURA, BALIPOST.com – Ajang Fremantle-Bali Yacht Race 2017 membawa dampak kejut ekonomi yang luar biasa bagi Bali. Ada 70 peserta race yang banyak membelanjakan uangnya di destinasi wisata terbaik dunia 2017 pilihan TripAdvisor itu. Itu belum termasuk 52 anggota keluarga mereka yang ikut diboyong ke Pulau Dewata Bali.
“Total kru dan skipper ada 70 orang. Dan mereka masih membawa 52 orang anggota keluarga untuk berlibur ke Bali,” papar Raymond T Lesmana, di sela Welcome Dinner Fremantle-Bali Yacht Race 2017 di Prama Sanur Beach Hotel, Sabtu (20/5) malam.
Pria yang sudah puluhan tahun mengurus organizer yacht rally internasional itu sangat yakin, hal ini memberi dampak ekonomi yang tidak sedikit bagi Bali. Marina, hotel, rental mobil, restoran, bar dan pub, semua ikut terkena imbas positif dari Fremantle-Bali Yacht Race 2017.
“Tipikal yacht racer adalah spending uang yang lebih besar dari rally yachter. Mereka maunya menginap di hotel berbintang. Makannya di restoran berbintang. Satu kapal yang terdiri dari satu awak dan dua skipper biasanya mengeluarkan uang US$ 123 per hari. Keluarga yang ikut terbang dari Australia ke Bali rata-rata juga segitu. Silakan estimasi sendiri, berapa perputaran uang dari race ini,” ungkapnya.
Dan living cost tadi, masih bisa bertambah lagi karena biaya tersebut belum termasuk membeli bahan bakar, air bersih, perbaikan kapal, kebersihan dan kebutuhan dasar lainnya.
“Dan kemarin ada beberapa yachter yang ingin menetap tiga hingga enam bulan. Ada yang ingin ke Labuan Bajo, Tual, Anambas. Coba bayangkan berapa potensi uang yang akan beredar di masyarakat bila Indonesia disinggahi yachter-yachter Australia ini? Angkanya pasti lumayan,” katanya.
Hal itu ikut diamini Ketua Tim Percepatan Wisata Bahari Kemenpar Indroyono Soesilo. Melihat besarmya dampak ekonomi dari wisata yacht, mantan Menko Kemaritiman itu berjanji untuk mengintensifkan perbaikan layanan bagi yacht internasional yang mengunjungi nusantara.
“Dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 105/2015 tentang pengelolaan kunjungan kapal pesiar asing adalah tonggak penting dalam upaya pemerintah untuk merampingkan sektor ini. Berdasarkan peraturan tersebut, kapal pesiar asing dan penumpang serta awak kapal dapat mengakses dukungan administratif dan imigrasi saat memasuki salah satu dari 18 pelabuhan yang dipilih, seperti Pelabuhan Benoa di Bali, Pelabuhan Sabang di Aceh dan Pelabuhan Belawan di Medan,” ujarnya.
Dan bagi yang ingin memperpanjang masa liburannya, sekarang sudah ada sosio culture visa yang bisa diperpanjang selama enam bulan. “Setelah yacht, ke depannya kami akan merayu super yacht yang berukuran lebih dari 24 meter untuk berwisata ke Indonesia,” ucapnya.
Peningkatan pelayanan memang menjadi nyawa dari wisata yacht. Clearance in and out, Custom, Immigation Stamp Passport, karantina dan Syahbandar harus all out memback up ini bila ingin wisata yacht Indonesia berkompetisi dengan global player lainnya. Dan hal ini ikut diamini Bernie Kaaks, Principal Race Officer. “Saya lihat pelayanan sudah jauh lebih bagus. Tinggal klik http://yachters-indonesia.id dan mengisi form yang tersedia, yachter sudah bisa masuk ke Indonesia. Sudah jauh lebih simpel,” katanya.
Tapi, itu saja rupanya belum cukup. Setelah sandar, yachter butuh layanan satu atap. Custom, Imigrasi, karantina dan Syahbandar, harus ada di satu marina untuk mempermudah mobilisasi yachter saat ingin berwisata di darat. “Sekarang itu belum ada. Kantor pelayanan masih terpisah-pisah. Tidak dalam satu lokasi. Kami jadi harus mengeluarkan ekstra cost untuk mengurus perizinan setelah sandar di marina,” ungkapnya.
Robbie Hearse, pemilik kapal layar Kondili juga senada. Layanan untuk yachter menurutnya harus stand by 7 x 24 jam lantaran dalam race, tiap peserta tidak finish dalam rentang periode waktu yang sama. “Ada yang finish pagi, siang, sore, malam, malah ada yang beda hari. Jadi harus full 7 x 24 jam. Hari ini, Minggu 21 Mei 2017, saya tidak bisa keluar Indonesia karena tidak ada layanan karantina,” ungkapnya.
Sementara Garth Curran, pemilik Walk on The Wildside, berharap ada revisi zona exit point. Terutama bagi kapal layar yang datang dari Bali Marina. “Saya dan beberapa kawan awalnya ingin ke Labuan Bajo melihat Komodo. Tapi tidak ada exit point di sana. Yang ada di Kupang. Di perahu layar yang tidak mengandalkan mesin, ini jadi persoalan besar karena untuk menuju Kupang, kami dipaksa harus melawan angin. Ini sangat tidak mungkin. Satu lagi, Indonesia perlu jalur wisata kapal layar nasional. Kalau ini ada, yachter dunia jadi punya panduan berlayar di jalur yang sangat aman,” ungkapnya.
Mendengar ini, Menpar Arief Yahya langsung memerintahkan seluruh jajarannya untuk segera berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait. Misinya, memperbaiki semua pelayanan yang terkait dengan wisata yacht.
“Ini masukan bagus. Akan segera saya tindaklanjuti dengan kementerian dan lembaga terkait. Semua marina di Indonesia haus bisa menaikkan level service of excellent-nya. Marina itu membangun kesan pertama. Semua orang tahu, kesan pertama itu harus menggoda! Selanjutnya: harus sangat hebat dengan menggunakan global standart,” ungkap dia. (kmb/balipost)