MANGUPURA, BALIPOST.com – Menurunnya daya saing nasional diduga menjadi penyebab menurunnya kinerja industri manufaktur. Gejala deindustrialisasi ini dikhawatirkan mengakibatkan defisit neraca perdagangan menjadi semakin besar. Demikian mengemuka dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Kamis (29/11).
Menurut Ketua Umum Kadin, Rosan P. Roeslani, saat ini laju pertumbuhan impor lebih besar daripada pertumbuhan ekspor. Kondisi ini, akhirnya mengakibatkan defisit transaksi berjalan dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. “Dunia usaha akan mengupayakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yaitu pertumbuhan ekonomi yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang layak, mengurangi tingkat kemiskinan dan tingkat ketimpangan ekonomi sehingga tercipta pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan,” tegasnya.
Ia menjelaskan, yang menjadi fokus bahasan pada Rapimnas adalah bagaimana meningkatkan perekonomian yang maju, berdaya saing dan berkeadilan. Hal tersebut didasarkan pada dinamika perekonomian nasional dan global yang terjadi dalam kurun waktu 2018-2019 beserta tantangan-tantangan internal dan eksternal yang menyertainya.
Kadin mencatat, perekonomian Indonesia dalam kurun waktu 2018/2019 diwarnai oleh tren pertumbuhan ekonomi sekitar 5,1-5,2 persen. Angka ini diharapkan bisa ditingkatkan lebih tinggi lagi di tahun-tahun mendatang.
Sementara tingkat inflasi berada di angka 3,1 persen, nilai tukar rupiah sedikit menguat di kisaran Rp 14,400 per dollar AS dan tingkat suku bunga 5 persen. Kadin juga mencatat, penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional adalah pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Atas dasar harga konstan 2010, konsumsi masyarakat tumbuh 5,17 persen menjadi Rp 1.467,54 triliun. Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi dalam 21 triwulan.
“Selain tantangan internal, dunia usaha juga harus bersiap mengantisipasi tantangan dari luar seperti imbas perang dagang yang akan menimbulkan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk Indonesia,” kata Rosan.
Lingkungan eksternal saat ini diwarnai oleh eskalasi perang dagang Amerika Serikat dan China yang diprediksi belum akan berakhir dalam waktu dekat. Akibatnya perekonomian AS an China sebagai pelaku utama perang dagang mengalami penurunan tingkat pertumbuhan masing-masing dari 2,9 persen dan 6,6 persen pada 2018 menjadi 2,3 persen dan 6,2 persen pada tahun ini.
Bahkan diperkirakan pada akhir 2020, pertumbuhan ekonomi kedua negara akan kembali turun menjadi 2,0 persen dan 6,1 persen. (Citta Maya/balipost)