Anak Agung Ngurah Ketut Astara, S.Sn., S.Pd., Praktisi Pendidikan Pariwisata. (BP/may)

DENPASAR, BALIPOST.com – Setelah masifnya pembangunan hotel dan tempat akomodasi hingga Bali kelebihan kamar hotel, kini Pulau Dewata dihadapkan dengan hotel-hotel yang menunggak pembayaran pajak. Bahkan, hotel berbintang pun tersandung masalah pajak.

Padahal beberapa kemudahan telah dilakukan pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memberi ruang pelaporan pajak. Salah satunya memberi keringanan pajak pada hotel yang bekerja sama dengan sekolah dalam hal pendidikan keterampilan, selain kemudahan pelaporan secara online.

Praktisi Pendidikan Pariwisata Anak Agung Ngurah Ketut Astara, S.Sn., S.Pd. menyatakan, hotel yang bekerja sama dengan sekolah mendapat keringanan dari sisi pajak. “Kalau sudah membuat MoU-nya, hotel harus mengikuti aturan Menteri Keuangan yaitu mendaftar terlebih dahulu bahwa menerima kelas industri dari sekolah yang diajak bekerja sama,” paparnya, Jumat (20/12).

Baca juga:  Bertambah, Nakes asal Bangli Positif COVID-19

Peraturan Menkeu Nomor 128 Tahun 2019 menyebutkan, ada pemberian pengurangan penghasilan brutto atas penyelenggaraan kegiatan praktuk kerja, pemagangan dan pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu. Dalam pasal 2 misalnya, wajib pajak (WP) diberikan pengurangan penghasilan brutto paling tinggi 200 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan dan pembelajaran.

Menurut pengamat pariwisata yang juga praktisi pariwisata Bagus Sudibya, tunggakan pajak bisa terjadi karena ada target yang tidak tercapai yaitu di bawah Break Event Point (BEP). Jadi, pemilik dan manajemen dihadapkan pada pilihan yang sulit, salah satunya menunda pembayaran pajak. “Berarti memang benar ada masalah antara supply dan demand, bahwa di Bali ini hotel over supply,” ujarnya.

Baca juga:  SD dan SMP di Bangli Mulai Gelar PTM, Begini Suasananya

Selain itu, banyaknya akomodasi ilegal yang didaftarkan sebagai rumah tinggal, terutama dimanfaatkan oleh orang asing dengan memanfaatkan nominee orang lokal. Misalnya membangun 10 kamar, namun hanya ditempati dua kamar. Sisanya disewakan pada tamu-tamu yang berlibur di Bali. Sementara uangnya diterima di negaranya dan tidak membayar pajak di Indonesia.

“Jadi, selain sudah melanggar, peruntukannya juga tidak membayar pajak dan mengacaukan sistem bisnis perhotelan di Indonesia terutama di Bali,” ungkap Sudibya.

Kondisi ini juga membuat sulitnya akomodasi terselubung tersebut terdata di data statistik. Tak heran jumlah kunjungan wisatawan dengan jumlah kamar yang tercatat, okupansi rate atau tingkat hunian hotel masih terlihat bagus.

Baca juga:  Dikukuhkan, Pengurus IHGMA DPD Bali Periode 2020-2023

Tingkat hunian hotel tang diprediksi oleh BPS 60 persen, namun dalam realisasinya hanya 40 persen, karena 20 persen diserap oleh akomodasi ilegal atau akomodasi terselubung tersebut. “Akomodasi ini yang harus ditertibakan oleh pemerintah,” ujarnya.

Ada pula kecemburuan antara hotel yang membayar pajak dan tidak membayar pajak. Hotel yang membayar pajak terpancing tidak membayar pajak karena adanya akomodasi ilegal atau terselubung yang tidak membayar pajak. Maka dari itu harus dilakukan kontrol, namun yang berkeadilan. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *