PASURUAN, BALIPOST.com – Usai kunjungan ke Kabupaten Magetan, Jawa Timur dalam rangka mengamankan dan mengawal proses pelestarian situs Hindu Pra-Majapahit Ganesha Gimbal di Desa Bangsri Magetan, tokoh Hindu Nusantara, Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III, langsung mengunjungi Kabupaten Pasuruan dan Probolinggo. Wedakarna memeriksa palinggih Hindu yang dirusak yakni Pura Widodaren di kawasan Tengger Bromo, didampingi Kompol Hendy Kurniawan (Wakapolres Pasuruan), Iptu Bambang Tri S (Kapolsek Tosari), Irawan dan Singgih (PHDI Pasuruan) dan Kombes Pol. (Purn) Dewa Nyoman Sudiartha (PHDI Jawa Timur), Sudariyanto, S.Ag. (Direktur THCI Tengger), Ikhsan (Kepala Desa Wonokitri) dan Wirya Aditya, S.Sos.H., M.Pd.H. (Direktur THCI Pasuruan).
Kunjungan Senator Arya Wedakarna (AWK) ini sangat trategis, mengingat kehadiran negara sangat dibutuhkan di tengah kegalauan umat Hindu Nusantara akan maraknya terjadi perusakan tempat ibadah Hindu di luar Bali. Seperti kasus NTB, kasus Bekasi, kasus Bantul dan kini kasus Bromo.
Dan saat tiba di Bromo, Senator AWK langsung menuju lokasi (TKP) untuk mendapat penjelasan dari Polri tentang kejadian dan kronologi yang terjadi. Informasinya dari tokoh adat Hindu Tengger sangat mengejutkan, bahwa perusakan Pura Widodaren itu sudah ketigakalinya terjadi beberapa tahun terakhir ini. “Saya senang umat Hindu di Tengger baik yang ada diyuridiksi Probolinggo dan Pasuruan. Mereka berpikiran maju dan bijaksana menghadapi masalah SARA seperti ini. Umat Hindu di sini tidak emosi, juga tidak dendam. Bahkan kalaupun diselidiki Polri, umat di sini tidak mau tahu siapa yang menghancurkan pura itu. Mereka percaya karmaphala. Itu merupakan karakter yang baik, karena Hindu Dharma adalah penyejuk. Mungkin pandangan itu baik secara niskala. ‘’Tetapi saya perlu meluruskan, jika secara sekala (duniawi), tindakan seperti ini dibiarkan terus, maka teroris-teroris sontoloyo ini akan terus merajalela,” ujar Senator Arya Wedakarna.
Ia menambahkan, karena itu perlu diproses secara tegas dan juga perlu ada sanksi adat yang keras. “Nah, atas dasar itulah saya minta kaum adat di Bromo, salah satunya membuat uger-uger tertulis,” pinta Wedakarna. (Adv/balipost)