DENPASAR, BALIPOST.com – Hasil Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 menyisakan residu bagi kehidupan demokrasi di Bali dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Dominannya PDI-P menguasai kursi DPRD di hampir semua kabupaten/kota diprediksi akan memunculkan calon kepala daerah tunggal.
Kondisi ini mengindikasikan terjadinya kemunduran demokrasi di mana pilihan politik rakyat menjadi sangat terbatas akibat menguatnya budaya politik patron-klien. Parpol yang menguasai kursi legislative, menurut akademisi FISIP Unud I Made Anom Wiranata, S.IP., M.A., akan menguasai anggaran untuk selanjutnya akan menguasai suara-suara rakyat dengan membangun budaya politik patron-klien. “Jika ada partai yang menguasai eksekutif dan legislatif, maka penganggarannya (pada tingkat tertentu) akan dibuat dengan mempertimbangkan pemenuhan kepentingan partai yang berkuasa,” kata Anom.
Dana APBD milik publik, lanjut Anom, akan cenderung hanya turun pada daerah-daerah yang memiliki afiliasi politik dengan anggota DPRD dan bupati/wali kota yang berkuasa. “Aliran dana publik ini bisa terlihat dari skema bansos politik. Artinya bansos disertai dengan motivasi untuk mendulang suara,” tegasnya.
Bansos politik inilah, menurut Anom, digunakan untuk membangun budaya politik patron-klien, di mana pejabat atau anggota legislatif menjadi patron dalam memberikan bansos, masyarakat menjadi klien dengan menerima bansos. Kepatuhan mutlak dalam memilih kekuatan politik penyalur bansos sebagai imbalannya.
Akibatnya, dapil-dapil pemilihan itu seperti daerah patron. ‘’Desa ini, patron politiknya adalah anggota dewan ini dari partai ini. Ketika dapil-dapil sudah dibagi dalam wilayah patronasi, maka akan sulit bagi partai lain untuk masuk ke daerah tersebut. Karena sudah ada hubungan patron-klien, apalagi jika hubungan patron-klien sudah memengaruhi dalam penggunaan sarana-sarana publik di desa tersebut,’’ papar Anom.
Kondisi demokrasi Bali di tahun 2020 yang teracuni bansos, jika dikaitkan dengan pilkada masih bisa diselamatkan jika partai-partai yang bukan dominan mau bersaing dengan strategi yang harus benar-benar out of the box. ‘’Yang memungkinkan dilakukan adalah menyuarakan visi perubahan yang jelas dan pemilih dapat mengidentifikasi visi perubahan tersebut pada kandidat yang bersangkutan. Mereka harus menunjukkan kelemahan dari penguasa sebelumnya, dan pesan mereka bisa masuk ke kalangan konstituen,’’ kata Anom. (Dira Arsana/balipost)