Hutan di Kintamani. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Berada di hulunya Bali dengan memiliki bentangan hutan yang cukup luas, kelestarian alam di Kabupaten Bangli masih cukup terjaga. Hal itu tidak terlepas dari ditetapkannya kabupaten berudara sejuk itu sebagai kawasan konservasi dalam Perda RTRW Provinsi Bali, yang membuat pembangunan sangat dibatasi dan tidak bisa banyak dieksploitasi seperti kabupaten lain yang ada di hilir.

Dalam wawancara belum lama ini, Bupati Bangli, I Made Gianyar, mengatakan sebagai daerah konservasi, Bangli tidak memiliki bangunan hotel berbintang. Masyarakat Bangli mayoritas bergerak di sektor pertanian. Hal inilah yang membuat alam di Bangli masih terjaga.

Sepanjang tahun 2019 ini, Made Gianyar terus berupaya menggugah kesadaran semua pihak untuk menjaga kelestarian kawasan hulu. Sesuai konsep Tri Hita Karana, hulu teben, segara dan gunung yang sudah diwariskan nenek moyang terdahulu. Tidak bisa disamakan antara di hulu dengan di hilir. Kalau kawasan hutan Kintamani alamnya dieksploitasi dan dialihfungsikan, maka debit air akan menurun dan sumber mata air akan hilang.

Guna menjaga kelestarian alam di hulu, salah satu upaya yang dilakukan Made Gianyar adalah mengajak masyarakat menanam pohon, salah satunya jenis bambu. Ia ingin mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga kawasan hutan Kintamani sebagai daerah penyangga air di Bali.

Baca juga:  Menanti Terwujudnya Pusat Kebudayaan Bali

Menurutnya, jika kawasan Kintamani sampai beralih fungsi dan hutan-hutan di sini mulai ditebangi, Bali akan mengalami krisis air. “Memang saya sempat mengeluarkan ancaman, kalau sebagai daerah konservasi, Bangli tidak diperhatikan oleh Pemerintah Provinsi Bali dan kabupaten yang berkepentingan dengan sumber air dari Bangli, maka saya akan menguruk sungai dengan sampah. Itu kan hanya sebatas ancaman, agar Bangli bisa lebih diperhatikan. Faktanya sekarang kan saya dan masyarakat menanam bambu untuk melestarikan sumber air di Bali, mohon juga pengertian Bapak Gubernur Bali dan Bupati yang daerahnya berkepentingan air dari Bangli,” kata Gianyar belum lama ini.

Diungkapkan juga bahwa saat ini fenomena yang terjadi pada masyarakat Kintamani, khususnya di Daerah Aliran Sungai (DAS), yakni banyak pohon bambu yang ditebang dan diganti dengan tanaman jeruk. Ia berpendapat, hal itu wajar saja terjadi. Sebab masyarakat beranggapan dengan menanam jeruk, hasil yang mereka dapatkan secara ekonomi jauh lebih besar dari menanam bambu.

Sebagai Bupati Bangli, ia tidak bisa melarang masyarakat yang mau mengganti tanaman bambunya dengan jeruk. Solusinya, Pemerintah Provinsi Bali dan kabupaten yang berkepentingan akan air dari Bangli bisa menyiapkan insentif bagi masyarakat yang mau menanam bambu pada lahan milik pribadinya atau desa yang bisa menjaga hutan desa. “Setiap menanam bambu, berikan mereka insentif. Paling tidak insentif yang diberikan sesuai dengan pendapatan mereka jika menanam jeruk. Jika penghasilannya sama, tentu mereka tidak akan mengganti bambu dengan jeruk,” terangnya.

Baca juga:  Gelombang Pasang Tinggi, Proyek Revertment Dihentikan Sementara

Bupati asal Desa Bunutin, Kintamani itu juga mengingatkan masyarakat Bangli akan pentingnya menjaga hutan desa. Meskipun kenyataanya saat ini banyak hutan-hutan desa yang pohon-pohonnya mulai ditebangi, namun Gianyar tetap menggugah kesadaran tokoh dan masyarakat agar mulai menanami hutan desa dengan bambu atau pepohonan lain.

Gianyar meminta kesadaran dari para tokoh untuk menjaga hutan desa. Kalau masih ada laba pura yang bisa dimanfaatkan untuk hutan, lebih baik distatuskan menjadi hutan desa atau hutan adat, sambil menunggu kebijakan pemberian insentif dari Bapak Gubernur Bali dan para bupati yang berkepentingan akan air dari Bangli. “Dengan begitu sumber air akan terjaga dan tidak tertutup kemungkinan akan muncul sumber-sumber air baru di Bangli,” pungkasnya.

Penggunaan ABT

Di perkotaan, Bali mengalami masalah penggunaan Air Bawah Tanah (ABT) yang tidak terkontrol. Hanya saja penanganannya masih dilakukan lintas daerah. Belum semua kewenangan ada di tangan pemerintah kabupaten/kota. Karena kebijakan soal regulasinya, berupa perda ditangani pemerintah provinsi. Demikian pula untuk besaran tarif pajak, juga dilakukan provinsi. Kabupaten/kota hanya menarik saja dari wajib pajak.

Baca juga:  Menguatnya Politik Patron-klien

Melihat kondisi ini, Pemkot Denpasar didorong untuk membuat regulasi terkait ABT. Seperti yang disampaikan anggota Fraksi Partai Golkar DPRD Denpasar Putu Metta Dewinta Wandy, S.H., dalam sidang paripurna, belum lama ini. Fraksi ini mengaku prihatin dengan banyaknya penggunaan ABT oleh pihak pengusaha, mulai dari air kemasan, hotel, serta usaha besar lainnya. Kondisi ini terkesan tidak terkontrol, sehingga dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap lingkungan.

Metta mengungkapkan, pengawasan untuk penggunaan ABT mendesak dilakukan pemerintah. Paling tidak ada pendataan terhadap para pengguna ABT di Denpasar. Terutama yang tergolong untuk usaha. “Selama ini kita melihat tarif ABT lebih murah dari PDAM, sehingga cakupan pengguna PDAM juga masih rendah,” katanya.

Sementara itu, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bappenda) Kota Denpasar Dewa Gede Semadi mengatakan, pihaknya hanya menarik pajak dari wajib pajak pengguna ABT. Karena besaran tarif serta permohonan izinnya masih di provinsi sedangkan sebelumnya sempat proses perizinan serta tarif ditentukan masing-masing kabupaten/kota.

Namun, setelah adanya keputusan dari pemerintah pusat, kewenangan tersebut diserahkan kepada provinsi. Untuk di Denpasar sendiri jumlah wajib pajak ABT sekitar 600 orang atau unit usaha. (Dayu Swasrina/Asmara Putera/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *