Tari Baris Mapag Yeh dipentaskan di Art Center, Denpasar. (BP/ian)

DENPASAR, BALIPOST.com – Barisan kesenian tradisional Bali yang terancam punah lantaran sudah sangat jarang dipentaskan teramat panjang. Bahkan, beberapa di antaranya sudah lenyap tanpa bekas. “Kematian” massal yang menghantui kesenian-kesenian langka itu disebabkan karena kegagalan melahirkan generasi penerus kesenian tersebut.

Realita inilah yang menggerakkan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar secara intensif menggulirkan Program Rekonstruksi Seni Langka sejak 2013. “Banyak sekali kesenian tradisional di Bali yang terancam punah karena kegagalan proses regenerasi. Sebagai lembaga pendidikan tinggi seni, kami punya tanggung jawab moral untuk membangkitkan kembali kesenian langka tersebut lewat proses rekonstruksi,” ujar Rektor ISI Denpasar Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S. Skar., M. Hum., Kamis (2/1).

Menurut Arya Sugiartha, pihaknya menargetkan merekonstruksi dua jenis kesenian langka setiap tahun yang sepenuhnya dibiayai ISI Denpasar. Yakni, satu jenis seni pertunjukan dan satu jenis seni rupa.

Baca juga:  DPMD Badung Tunggu Surat Resmi dari Polda Bali

Pada 2019, misalnya, pihaknya merekonstruksi Tari Legong Dedari yang merupakan tetamian salah satu pura di Desa Adat Peguyangan, Denpasar dan payung khas Kerajaan Mengwi, Badung. Ditegaskan, penyebab utama kesenian-kesenian tradisional Bali itu tidak mampu mempertahankan eksistensinya lantaran kegagalan proses regenerasi.

Karena gagal mencetak generasi pewaris, usia kesenian itu pun hanya sebatas usia pelaku kesenian itu. Begitu senimannya meninggal dunia, maka lenyap pula kesenian itu. “Seringkali, kita memang melupakan pentingnya kaderisasi itu. Ketika pelaku aktif kesenian itu sudah tidak ada dan keseniannya tidak pernah dipentaskan lagi  barulah kita merasa sangat kehilangan,” katanya.

Ditambahkan, pihaknya juga pernah merekonstruksi Joged Bumbung Desa Pujungan pada 2017. Arya Sugiartha menegaskan, proses rekonstruksi itu tidak selamanya berjalan mulus. Seringkali, seniman-seniman yang pernah jadi pelaku aktif kesenian itu seluruhnya sudah meninggal dunia sehingga pihak-pihak yang melaksanakan aktivitas rekonstruksi itu kehilangan pijakan.

Baca juga:  Rekonstruksi Pembunuhan Berencana Brigadir J di Dua TKP

Kehilangan sumber referensi utama sebagai titik awal untuk memulai pekerjaan. Sementara di pihak lain, seniman-seniman Bali di masa lampau sangat jarang mendokumentasikan karya-karyanya. “Keterbatasan referensi ini seringkali menjadi kendala utama setiap kali kami melakukan upaya rekonstruksi terhadap kesenian-kesenian langka. Lain persoalan jika senimannya masih ada, kita bisa merekonstruksi karya itu berdasarkan ingatan dari seniman tersebut,” ujarnya.

Arya Sugiartha menambahkan, esensi dari aktivitas rekonstruksi adalah membangkitkan kembali kesenian yang berada di ambang kepunahan maupun sudah punah. Dengan kata lain, kegiatan ini mengusung misi pelestarian di mana nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian itu harus tetap terjaga dan tumbuh berkembang di masyarakat.

Baca juga:  Pelaku Pariwisata Kecewa! Penerbangan Singapore Airlines ke Bali Ditunda

Karenanya, kesenian hasil rekonstruksi itu wajib dikembalikan kepada masyarakat selaku pemilik kesenian itu. Selanjutnya, masyarakat sendiri yang akan menjaga dan mengembangkan kesenian tersebut.

Jika tidak demikian, rekonstruksi itu akan menjadi kegiatan yang sia-sia karena akan kembali mati dengan sendirinya. “Kami juga sangat mengapresiasi semangat sejumlah desa adat untuk merekonstruksi kesenian langka yang pernah tumbuh dan berkembang di wilayahnya. Sebagai contoh, rekonstruksi Fragmentari Baris Mapag Yeh yang dilakukan Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung dan rekonstruksi kesenian Gambuh Singapadu yang dilakukan oleh masyarakat Desa Singapadu. Kedua seni rekonstruksi ini sempat dipentaskan di Pesta Kesenian Bali,” ujarnya. (Wayan Sumatika/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *