ujian nasional
Sejumlah siswa SMPN 2 Tabanan saat mengikuti ujian nasional di ruangan milik gedung SD 6 Delod Peken. (BP/dok)

Oleh  I Kadek Darsika Aryanta

Tidak dapat dimungkiri bahwa setiap pergantian menteri pendidikan, selalu dinanti kebijakan baru dalam dunia pendidikan. Salah satu kebijakan baru Menteri Pendidikan Nadiem Makarim adalah menghapus ujian nasional (UN) di tahun 2021 menjadi asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Kebijakan ini ibarat bola panas yang membentur ke segala arah.

Ada yang meradang, ada juga yang senang dengan kebijakan tersebut. Yang setuju dengan kebijakan tersebut kebanyakan berasal dari kalangan aktivis pendidikan era milenial yang sejak lama berjuang untuk melawan kebijakan ujian nasional. Kelompok yang tidak setuju dengan penghapusan ujian nasional kebanyakan juga berasal dari golongan pendidikan yang sudah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan.

Alasan mendasar pemerintah menghapuskan ujian nasional adalah materi Ujian Nasional ini terlalu padat, sehingga siswa dan guru cenderung menguji penguasaan konten, bukan pada komepetensi pengajaran. Selama ini saat pelaksanaan ujian nasional siswa kelas XII cenderug untuk terus di-drill materi pelajarannya dengan mengadakan latihan soal terus-menerus.

Kecenderungan untuk terus men-drill materi pelajaran ini bisa menyebabkan stres siswa yang meningkat. Selain itu, drill soal yang biasanya dilakukan di awal semester VI bagi kelas XII akan menyebabkan efek psikologis yang negatif bagi siswa.

Selain itu, pelaksanaan ujian nasional juga tidak jarang menjadi pertaruhan nama baik sekolah. Hasil ujian nasional biasanya dijadikan sebagai bahan promosi sekolah sekaligus sebagai gengsi sekolah dalam pelaksanaannya. Tidak hanya unsur sekolah, orangtua pun tidak mau kalah gagapnya jika ujian nasional mau dilaksanakan.

Baca juga:  Aktualisasi Pancasila dan Visi Politik

Mereka berlomba-lomba memberikan les tambahan kepada anaknya, sehingga mereka rela merogoh kantong yang tidak sedikit agar putra-putrinya bisa mengikuti les di bimbingan belajar dengan harapan mendapatkan nilai ujian nasional yang tinggi.

Ada yang salah ketika UN dijadikan berbagai parameter untuk kepentingan pemerintah, tetapi mengorbankan kepentingan anak-anak Indonesia. Belajar bukan dalam kondisi tertekan, belajar harus menyenangkan. Sekolah harus mengajarkan cara berpikir dan bernalar, bukan untuk menjawab soal, pilihan ganda pula.

Ujian nasional selama ini memiliki rasa ketidakadilan bagi siswa yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi dan rendah. Tak pelak, ujian nasional yang selama ini berlangsung merupakan ajang jor-joran dari pihak yang memang memiliki kantong berlebih.

Bagi siswa yang keadaan ekonominya mampu, tidak jarang mereka dapat kursus bimbel intensif di luar sekolah.  Bagi siswa yang ada di pelosok dan kemampuan ekonominya rendah hanya bisa gigit jari berjuang mandiri dalam menghadapi soal-soal ujian nasional.

Kondisi disrupsi ujian nasional sekarang ini menjadi beban bagi siswa, guru, dan orangtua karena menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu. Padahal, ujian nasional seharusnya berfungsi untuk pemetaan mutu sistem pendidikan nasional, bukan penilaian siswa.

Nilai UN yang dipublikasi sekarang ini merupakan nilai individu siswa, sehingga perlu untu direvitalisasi sehingga benar-benar merupakan pemetaan mutu pendidikan nasional. Nilai ujian nasional yang hanya berupa kognitif belaka ini sangatlah bertentangan dengan prinsip Kihajar Dewantara sebagai founding father pendidikan nasional Indonesia yaitu pendidikan yang menyenangkan, bermakna dan bermanfaat bagi kehidupannya. Selama ini pendidikan yang terjadi adalah hanya menghafal-menghafal saja dan cenderung melatih kognitif siswa.

Baca juga:  15 Siswa SLBN 1 Badung Ikuti UN

Senja di ufuk barat ujian nasional ini dicirikan juga dengan pelaksanaan ujian nasional yang hanya menilai aspek kognitif dan belum menyentuh karakter siswa secara menyeluruh. Selain itu, pelaksanaan ujian nasional sekarang ini memang bukan untuk menentukan kelulusan siswa. Jadi dalam hal ini secara undang-undang negara tidak berhak untuk menentukan kelulusan siswa. Kelulusan siswa sepenuhnya ditentukan oleh sekolah atas dasar evaluasi peserta didik yang dilakukan oleh guru.

Arah kebijakan baru Menteri Pendidikan sekarang ini adalah mengubah ujian nasional menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter. Asesmen ini akan menyasar kepada kemampuan literasi siswa dalam bernalar tentang dan menggunakan bahasa. Kemampuan literasi siswa ini sangat penting untuk dikembangkan karena di era disrupsi ini kemampuan menyaring informasi sangatlah diperlukan sebagai dasar dalam pelaksanaan literasi siswa. Kemampuan literasi yang mumpuni akan mampu mencegah disinformasi yang berkembang di masyarakat.

Selain kemampuan literasi, asesmen kompetensi minimal siswa akan menyasar pada kemampuan numerasi siswa. Kemampuan ini akan dikembangkan untuk memaksimalkan penalaran siswa dalam menggunakan matematika. Kemampuan numerik siswa ini sangat diperlukan untuk menjamin siswa Indonesia melek akan angka dan data.

Selain hal tersebut di atas, asesmen yang akan dilakukan oleh Menteri Pendidikan adalah pelaksanaan survei karakter dan pengembangannya. Karakter yang dikembangkan dalam siswa disurvei sedemikian rupa untuk mendapat gambaran sejauh mana tingkat karakter siswa di sekolah dan di masyarakat.

Baca juga:  Memperkuat “Value Preposition” Museum

Asesmen kompetensi minimum dan survei karakter dilaksanakan pada siswa yang berada di tengah jenjang sekolah yaitu di kelas IV, VIII, dan XI. Pelaksanaan di tengah jenjang sekolah ini dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pembelajaran dan tidak bisa digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya. Asesmen ini dilakukan merujuk pada praktik baik pada level internasional seperti PISA dan TIMSS.

Berakhirnya ujian nasional di tahun 2020 ini merupakan tantangan tersendiri dalam dunia pendidikan. Pelaksanaan ujian ini merupakan pekerjaan besar bersama antara Kementerian Pendidikan Kebudayaan dengan Dinas Pendidikan di provinsi dan kabupaten/kota.  Rentang koordinasi ini mutlak untuk dilakukan perbaikan karena yang memiliki guru dan siswa adalah Dinas Pendidikan provinsi dan kabupaten/kota.

Kebijakan dalam tingkat level atas harus diterjemahkan secara lebih spesifik dan teknis di Dinas Pendidikan provinsi dan kabuaten/kota. Sinergi ini perlu dilakukan, sehingga pelaksanaan dalam rangka mencerdaskan anak bangsa bisa dipercepat dengan baik. Kebijakan yang baik ini harusnya disambut dengan eksekusi yang matang di tingkat provinsi dan kabupaten, jangan hanya melempem melaksanakan rutinitas yang berorientasi menghabiskan anggaran saja namun lebih pada memberikan kebermanfaatan kepada guru dan peserta didik.

Penulis, Guru Fisika, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMAN Bali Mandara

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *