SEMARAPURA, BALIPOST.com – Prosesi krematorium menjadi salah satu opsi umat Hindu untuk melaksanakan pitra yadnya. Cara ini belakangan mulai ramai dipakai umat Hindu untuk menekan biaya tinggi saat melaksanakan upacara ngaben.
Salah satunya, lokasi krematorium yang menjadi pilihan adalah di Desa Adat Punduk Dawa, Kecamatan Dawan. Belakangan di sana tidak hanya melayani umat Hindu di Bali, tetapi bahkan juga memproses warga negara asing (WNA), yang ingin diupacarai secara Hindu.
Keberadaan krematorium Punduk Dawa, sudah ada sejak tahun 2014. Sejak saat itu hingga awal tahun 2020 sudah memproses sebanyak 350 sawa.
Lokasi ini diinisiasi oleh Yayasan Dharma Kusuma. Menurut salah satu Pengurus Yayasan Ketut Gede Yuda Antara, Senin (20/1), mengatakan adanya program krematorium ini setelah melihat perkembangan umat, yang kerap mengalami banyak masalah saat hendak melaksanakan upacara ngaben. Bahkan, ada yang sampai tidak dapat setra.
Wakil Ketua Bidang Dharma Sedana ini, menambahkan, sejumlah sulinggih kemudian merumuskan suatu cara sebagai solusinya. Mereka antara lain, adalah Ida Sire Mpu Sura Dharma Jnana dari Gria Dawan Kaler. Ida Sire Mpu Dharma Kumala, dari Gria Taman Ganda Sari, Galiran, Klungkung dan Ida Pandita Mpu Yoga Natha dari Gria Pangi, Pikat, Klungkung. Sehingga dibentuk Yayasan Dharma Kusuma di Banjar Pasekan, Dawan Kaler, dengan ragam program kerja di berbagai bidang. Salah satu adalah bidang Dharma Sedana, yang menaungi program krematorium ini.
Sebanyak 18 Pendiri dari Yayasan Dharma Kusuma, mengikat kerja sama dengan Desa Adat Pundukdawa. Bentuk kerjasamanya, berupa sewa tempat berupa areal tanah yang cukup luas selama 25 tahun di lokasi saat ini, serta kerjasama adat, saat ada kegiatan-kegiatan adat di desa setempat hingga komitmen untuk menggunakan SDM dari warga setempat dalam memenuhi kebutuhan sarana banten. “Respons umat paling tinggi itu pada tahun ketiga. Karena saat itu, umat merasakan cara seperti ini memang lebih efektif,” kata Yuda Antara.
Disinggung mengenai biaya, Yuda mengatakan proses krematorium biayanya cukup tertangkau. Ini pula yang membuat umat memilih cara ini sebagai alternatif.
Kalau hanya ngaben saja biayanya Rp 14 juta per sawa. Ngeroras Rp 14 juta, kalau sampai nuntun langsung ngelinggihang, maka biayanya nambah lagi Rp 6 juta. Sehingga kalau diambil total, semua biayanya mencapai Rp 34 juta.
Sedangkan, khusus untuk ngelungah hanya Rp 2,5 juta dan upacara makingsan di gni Rp 9,5 juta. Dana itu digunakan untuk biaya banten dan kelengkapan upacara lainnya hingga sewa kompor krematorium. “Pro kontra kami akui ada. Tetapi kalau yang komplin langsung pascadiproses disini, sejauh ini tidak ada. Malah, setelah diproses ada yang ngaturang punia lagi. Satu sawa kapuput satu sulinggih,” tegasnya.
Selain melayani umat di sekitarnya, keberadaan krematorium ini juga menjadi pilihan umat Hindu dari daerah-daerah yang cukup jauh. Seperti dari Singaraja dan Kota Negara. Bahkan, warga asing juga kerap diminta diproses secara Hindu di lokasi ini.
Salah satu pemangku setempat, Mangku Suardana, mengatakan terakhir warga asing yang diproses disana, berasal dari Belanda. “Keluarganya bilang ada wangsit agar diproses secara Hindu. Memproses turis tidak mudah. Harus ada izin ke konsulatnya dan tidak ada terlibat kasus hukum apapun. Juga harus ada keluarga yang bertanggung jawab. Bahkan ada pesan abunya agar di tabur di Padangbai,” ujarnya. (Bagiarta/balipost)