Oleh: IGK Manila
Pandemik virus Corona telah menyebabkan gejolak ekonomi dunia. Negara-negara yang secara langsung saling terhubung dengan Tiongkok, seperti karena aktivitas perdagangan, pariwisata dan pendidikan, menghadapi simalakama. Padahal ini baru bulan ketiga sejak virus ini teridentifikasi, yakni pada Desember 2019 lalu.
Termasuk bagi Indonesia, di mana Tiongkok adalah salah satu mitra ekonomi terpenting. Sepanjang Januari-Oktober 2019, sebagai contoh, total ekspor Indonesia mencapai US$ 139,1 miliar dan nilai impor sebesar US$ 140,89 miliar. Ini belum termasuk volume sektor jasa atau non-barang seperti pariwisata, perhubungan dan seterusnya.
Meskipun kita belum memperoleh data November 2019-Januari 2020, kebijakan menghentikan berbagai aktivitas terkait ekonomi dengan Tiongkok telah mulai memberi petaka. Saat ini saja, dengan penghentian beberapa jalur penerbangan, beberapa sektor ekonomi sudah terdampak. Apalagi jika pemerintah pada akhirnya benar-benar menghentikan kegiatan ekspor-impor dan sektor perhubungan.
Bagi Bali, provinsi yang secara ekonomi sangat tergantung pada pariwisata, dampak pandemik virus Corona bahkan sudah mulai membuat cemas. Dari sekitar 1,7 juta wisatawan Tiongkok yang berlibur di Indonesia, umpamanya, porsi terbesar berkunjung ke Bali. Sehingga ketika penerbangan Bali-Tiongkok ditutup, Bali kehilangan sumber PAD yang tak sedikit.
Association of The Indonesian Tours And Travel Agencies (Asita) Bali, umpamanya, baru saja memberitakan bahwa sekitar dua hari lalu, 15 ribu wisatawan asal Tiongkok batal berkunjung ke Pulau Bali. Pada Februari ini juga, berbagai rombongan wisatawan berinsentif mancanegara, yang jumlahnya mencapai ribuan, batal terbang dari Tiongkok.
Dalam situasi seperti ini, ada baiknya kita merenungkan lagi pepatah lama ‘’Don’t put all your eggs in one basket’’. Adalah salah besar kalau semua sumber daya ekonomi yang dimiliki individu, kelompok, masyarakat atau satu Provinsi Bali dipertaruhkan di satu sektor saja. Bali harus memiliki berbagai alternatif selain pariwisata, sehingga apa yang disebut sebagai ketahanan ekonomi (economic security) bisa terwujud.
Secara historis, kita tahu, sebagian besar perekonomian Bali beberapa dekade lalu bersandar pada pertanian, baik dari segi pendapatan maupun penyerapan tenaga kerja. Seiring waktu, industrialisasi pariwisata Bali menjadi penyumbang PAD terbesar, menyerap sumber daya manusia dalam jumlah besar, dan juga menjadi semacam magnet yang membuat sektor-sektor lain ditinggalkan.
Tentu saja tak bisa ditampik kalau pariwisata telah menjadikan Bali sebagai salah satu wilayah dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, bahkan termasuk salah satu yang tertinggi di Indonesia. Pada tahun 2003 saja, sebagai contoh, sekitar 80% perekonomian Bali telah bergantung atau terkait erat dengan industri pariwisata.
Meski demikian, menjadikan pariwisata sebagai satu-satunya primadona tetap saja berisiko. Ini karena ia berbasis interkoneksi wilayah dan manusia serta sangat tergantung pada stabilitas keamanan dan ekonomi lokal, regional dan dunia. Itu sebabnya, di tengah pertumbuhan ekonomi Bali yang cepat dan stabil di awal dekade 2000-an, Bom Bali 2002 dan 2005 meluluhlantakkan sektor pariwisata. Demikian juga ketika Gunung Agung berkali-kali erupsi di sepanjang 2017-2019 serta kini ketika pandemik virus Corona secara langsung menggerus kunjungan pariwisata ke Bali.
Belajar dari rangkaian kejadian ini, pemerintahan dan masyarakat Bali serta siapa pun yang peduli dengan Bali, mau tidak mau harus mendesain ulang dan merekonstruksi berbagai hal terkait perekonomian. Harus diciptakan sektor-sektor primadona lain berdasarkan potensi-potensi alam, ekonomi dan sosio-budaya masyarakat Bali.
Pada Januari 2020 lalu, sebagai langkah awal, Gubernur Bali Wayan Koster sebenarnya sudah mencetuskan rencana perekomoniam yang disebut sebagai penguatan fundamental perekonomian Bali. Beliau menyatakan bahwa dimulai pada 2020 ini, Provinsi Bali akan serius mengembangkan kembali sektor pertanian.
Alasannya, di atas kertas, 60 persen kehidupan masyarakat Bali masih bersandar atau terkait dengan sektor tersebut. Berpatokan pada realitas sektor pertanian dalam era modernisasi, selain mesti didukung, cita-cita Gubernur Wayan Koster perlu dikembangkan supaya lebih kontekstual. Artinya, selain berpijak pada pengelolaan secara tradisional, seperti model subak, supaya memiliki daya tarik dan jual ekonomi sektor pertanian harus dibawa ke arah industrialisasi pertanian dalam skala yang sesuai.
Soal daya tarik dan jual ekonomi ini menjadi sangat penting paling kurang karena dua hal yang saling berhubungan. Pertama terkait antusiasme pelaku pertanian di Bali dan yang kedua karena secara ekonomi sektor pertanian tak lagi dinilai menjanjikan.
Termasuk juga di sini betapa penyusutan lahan pertanian di Bali tetap belum terkendali. Terkait yang pertama, data Sensus Pertanian pada 2013 menunjukkan bahwa dari 492.394 rumah tangga yang mengelola pertanian pada Sensus Pertanian 2003 berkurang menjadi 408.233 rumah tangga. Artinya, terjadi pengurangan sebesar 17,09 persen dalam 10 tahun atau rata-rata 8.416 rumah tangga setiap tahunnya.
Seiring dengan itu, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bali menunjukkan bahwa sumbangan sektor pertanian berkurang sejak 2010 sebesar 17,2 persen. Dalam PDRB 2018, sumbangan sektor pertanian tersisa 13,8 persen. Dengan angka-angka ini, yakni kurang dari 20 persen, Provinsi Bali sebenarnya tak bisa lagi disebut sebagai daerah agraris.
Industrialisasi pertanian berbasis subak atau desa, oleh karena itu, harus mencakup sektor hulu sampai hilir. Janji Gubernur Wayan Koster bahwa sektor hulu harus dikelola secara tepat dan pengelolaan hilir akan melibatkan perbankan menjadi sangat relevan. Supaya berkembang dengan cepat, pemerintah harus segera membangun sentra pangan, fasilitas industri berbasis hasil pertanian dan memfasilitasi para petani, koperasi dan pengusaha tani supaya bisa bermitra untuk tujuan ekspor.
Meski demikian, sambil menunggu dan mendukung langkah-langkah selanjutnya terkait pengembangan ketahanan ekonomi melalui sektor pertanian, pemerintah dan masyarakat Bali juga tak boleh mengabaikan ragam potensi di sektor-sektor lainnya. Dalam dunia yang semakin terkoneksi satu sama lain ini, umpamanya, Bali bisa saja menjadi pusat pendidikan baru di Indonesia, dan pada gilirannya di tingkat dunia.
Sebagai penutup, hal terpenting saat ini adalah bagaimana masyarakat dan pemerintah Bali sampai pada kesadaran yang kurang lebih sama mengenai economic security. Setelah itu, secara bergotong royong, mereka terus berinovasi dan menggerakkan roda perekonomian alternatif yang berjalan paralel dengan pariwisata.
Penulis, Gubernur Akademi Bela Negara (ABN), tokoh masyarakat Bali