Prof. I Gde Pitana. (BP/dok)

Oleh : I Gde Pitana

Belakangan ini sangat marak wacana yang euforik tentang quality tourism (pariwisata berkualitas) dan ‘’meninggalkan’’ mass tourism. Sesungguhnya perdebatan yang mempertentangkan quality tourism (pariwisata berkualitas) dengan quantity tourism (mengutamakan jumlah wisatawan) sudah terjadi sejak lama.

Untuk kasus Bali, paling tidak perdebatan ini dapat ditelusuri kembali ke tahun 1990-an awal, ketika mulai digaungkannya pembangunan berkelanjutan (termasuk pembangunan pariwisata berkelanjutan). Di Bali sendiri ada dua program besar yang membahas masalah ini, yaitu BSDP (Bali Sustainable Development Project, 1991-1992) dan BTMP (Bali Tourism Management Project, 1992-1993).

Maka, setiap berbicara pariwisata berkualitas dalam konteks Bali, saya teringat dengan perdebatan di atas, karena kebetulan saya secara pribadi terlibat dalam project tersebut.

Apa Itu Pariwisata Berkualitas?

Pariwisata berkualitas diberikan batasan yang beraneka ragam sesuai dengan perspektif pembicaranya. Yang tidak mustahil, banyak orang berbicara tentang pariwisata berkualitas tanpa memahami apa yang dimaksud, serta apa ciri-ciri dan indikatornya. Paling sering terjadi, pariwisata berkualitas diperlawankan dengan pariwisata massal (mass tourism). Padahal dikotomi tersebut tidak selamanya benar.

Pada dasarnya pariwisata berkualitas adalah pariwisata yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat lokal dan kepuasan wisatawan secara berkelanjutan, bukan saja untuk generasi sekarang, melainkan juga untuk generasi-generasi yang akan datang.

Baca juga:  Taman Budaya Provinsi Bali

Batasan singkat tersebut dapat dirinci dengan melihat indikator-indikator pariwisata berkualitas, yang bisa dilihat dari sisi wisatawan (guests), dari sisi masyarakat lokal (host), dan dari sisi produk dan layanan yang ditawarkan, yang termasuk juga di dalamnya keberlanjutan lingkungan dan kebudayaan sebagai komponen dari sebuah destinasi. Yang paling sering mendapat sorotan adalah sisi wisatawannya, karena yang menyoroti adalah mereka dari sisi destinasi. Secara akademis, ada tiga indikator utama untuk melihat wisatawan berkualitas. Pertama, mempunyai daya beli (spending power) yang tinggi, serta secara nyata mengeluarkan uangnya di destinasi.

Pengeluaran ini berkait erat dengan jumlah pengeluaran per hari dan lama tinggal (length of stay). Kedua, wisatawan yang mempunyai kepedulian terhadap kelestarian lingkungan setempat, yang sangat terkait dengan keberlanjutan daya dukung dan daya tampung lingkungan di destinasi.  Ketiga, wisatawan yang mempunyai kepedulian terhadap kelestarian budaya lokal. Hal ini sangat terkait dengan keberlanjutan pariwisata, karena budaya merupakan modal dasar yang sangat penting dalam pembangunan kepariwisataan.

Ketiga indikator ini dapat dirinci dan diukur melalui sub-sub indikator dan/atau parameter-parameter yang lebih teknis, seperti pengeluaran per hari, lama tinggal, perilaku terhadap lingkungan, konsumsi makanan lokal, konsumsi daya tarik wisata lokal (alam dan budaya), sikap terhadap kebudayaan lokal, kemampuan beradaptasi dengan fasilitas lokal, dan seterusnya.

Baca juga:  Gaspol Mengawal Bali dan Kepri

Ketiga indikator di atas tidak bisa dilihat hanya satu per satu secara terpisah, melainkan harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang berkeseimbangan. Melihat satu indikator saja sangat berbahaya, bisa misleading, yang justru menghasilkan pariwisata yang tidak berkelanjutan.  Sebagai contoh, kalau penekanannya hanya pada pengeluaran per hari atau per kunjungan, maka suatu destinasi, seperti Bali, pasti akan hanya mengejar mereka yang pengeluarannya besar (high end tourists).

Katakanlah misalnya, mereka yang menyewa kamar dengan rate di atas 1 juta rupiah per malam. Maka, pastilah kamar yang dicari kamar hotel berbintang. Lalu, siapa yang mengisi kamar hotel-hotel kecil di Kuta, Ubud, dan Candidasa, atau homestay milik rakyat? Kuliner yang dicari juga kuliner ‘’berbintang’’. Lalu, siapa yang makan di restoran kecil atau warung milik rakyat? Cenderamata yang dicari juga yang ‘’berkelas’’. Lalu, siapa yang membeli kerajinan rakyat di pasar seni? Ini jelas tidak bagus untuk keberlanjutan pariwisata.

Baca juga:  Air Terjun Tegenungan Deras dan Keruh,  Wisatawan Tetap Nekat Mandi

Mass Tourism Bisa Juga Quality

Pendikotomian antara quality dengan mass tourism tidak selamanya tepat.  Dalam berbagai penelitian saya, yang didukung juga oleh berbagai penelitian ahli pariwisata di negara-negara lain, mass tourism bisa juga sekaligus quality tourism. Sebagai contoh, penyelenggara MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition) pasti berusaha mencari jumlah wisatawan atau peserta sebanyak-banyaknya, quantity matters. Tetapi, jumlah yang banyak tersebut semuanya berkualitas, dilihat dari tiga indikator utama yang saya sebutkan di atas.

Di samping itu, mempertentangkan quality dengan quantity dalam pariwisata juga berbahaya. Bagaimanapun bagusnya kualitas wisatawan, kalau jumlahnya sedikit, pasti tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, yang menjadi tujuan pembangunan pariwisata. Dampak positif terhadap masyarakat lokal maupun penerimaan negara (atau daerah) merupakan fungsi langsung dari perkalian antara jumlah dengan kualitas.

Maka, sekali lagi, tidak bijak kalau kita mempertentangkannya. Apalagi dalam konteks Bali, yang mempunyai beragam jenis dan interval yang tinggi dalam produk dan destinasi. Memang tidak salah, bahwa kualitas wisatawan sangat diperlukan. Tetapi kuantitas juga tidak harus dikesampingkan.

Guru Besar Ilmu Pariwisata Universitas Udayana

BAGIKAN