Foto sejumlah siswa sedang belajar sebelum pandemi Covid-19. (BP/dok)

Saat ini di Bali ada beberapa sekolah swasta favorit. Ada yang memang memasang brand internasional, tetapi ada juga yang justru memasang nama Bali sebagai brand utamanya.

Sekolah ini mulai tingkatan kelompok bermain atau playgroup atau PAUD sampai pada strata SMA. Banyak peminatnya. Terutama anak-anak kalangan pekerja warga asing atau dari kalangan berada. Dikatakan demikian karena uang semesterannya tergolong mahal. Bisa puluhan dan bahkan ratusan kali lipatnya.

Apanya yang menarik dari sekolah semacam ini? Banyak. Kalau membandingkan dengan barang, bisa dikatakan seperti ada harga ada kualitas. Tetapi sebenarnya itu tidaklah linier dengan kesuksesan seorang siswa nantinya. Artinya, tidak semua dari mereka akan jadi orang sukses. Dan sedikit pula anak-anak yang dari sekolah ‘’kebanyakan’’ akan tidak sukses.

Baca juga:  UNBK Tak Perlu Diwajibkan

Bukan di situ poinnya. Tetapi pada pola pengajaran serta gaya sekolah itu yang back to nature. Kembali ke alam. Sederhana dalam kurikulum dan seperti sekolah-sekolah negeri pada era Orde Baru. Sekitar 1970-an sampai 1990-an.

Serba sederhana dan tidak memberatkan siswa dengan berbagai beban. Ada secacam kesetaraan antara guru dan murid. Ada dialog intens. Ada komunikasi ruang kontak dibangun dengan seluas-luasnya.

Namun bukan berarti tidak punya standar. Mereka standarnya mengacu kurikulum internasional. Dan bagusnya tetap menggandeng kekuatan formal sebagai salah satu sisi yang sangat positif dalam membangun karakter siswa yang ‘’merdeka’’.

Baca juga:  Antara Terorisme dan Kemiskinan

Sangat jamak kita lihat bagaimana suasana kelas begitu hidup dengan dialog. Bukan monolog dari sang guru kepada muridnya. Mereka diajak berpikir secara merdeka. Berargumentasi dengan logika mereka. Pengembangan bakat, kemandirian, kecintaan terhadap lingkungan menjadi salah satu penguat dan daya tarik.

Ketika siswa sekarang seperti kelebihan beban, barangkali kodel yang seperti ini perlu ditiru. Siswa begitu menikmati keberadaannya sebagai murid. Membangun kondisi atau iklim seperti ini tentu bukan perkara gampang setelah sekian lama berjalan ibarat dengan memakai kacamata kuda.

Baca juga:  Pemprov DKI Awasi Sekolah Yang Laksanakan PJJ Selama KTT ASEAN

Menjadikan hubungan ini sebuah relasi yang harmonis namun tidak kehilangan kewibawaan tentu juga perlu waktu. Namun ketika sekolah-sekolah ini kembali kepada cara tempo doeloe, tentu bukan tanpa alasan.

Alasannya ya… siswa memiliki kemampuan yang berbeda-beda, kembangkan dan arahkan dengan baik dan bijaksana. Tentu ini muaranya. Kalau tidak, sulit bagi kita akan menemukan pola dasar sistem pendidikan nasional yang mau dan mampu menempatkan siswa dengan posisinya sebagai siswa dan guru sebagai guru.

BAGIKAN