Ilustrasi. (BP/ist)

Oleh dr. I Gusti Putu Darmika, Cht., MPH.

Anak adalah permata yang diinginkan oleh setiap orangtua di muka bumi ini, setiap dari mereka yang membangun keluarga umumnya menginginkan memiliki anak sebagai buah hati mereka. Seseorang yang sudah menikah dan tidak memiliki buah hati sering merasa kurang lengkap dan merasa tidak bahagia.

Mereka yang memiliki anak tentu saja selain merupakan sebuah berkah dan kesempatan untuk belajar, memiliki anak juga merupakan sebuah tanggung jawab dan sebuah kesempatan untuk berbagi kasih. Anak adalah guru bagi orangtua untuk belajar menyadari kasih dalam dirinya.

Dalam perkembangan zaman kemajuan teknologi dan informasi di era 4.0 ini anak-anak memiliki kesempatan dan kebebasan untuk mengakses miliaran informasi. Terlebih di zaman internet ini semua informasi bisa diakses dengan sangat mudah hanya melalui gadget yang mereka pegang masing-masing.

Baca juga:  Ortu Diminta Awasi Anak Belajar di Rumah

Menjadi orangtua bagi mereka di era milinier ini tentu membutuhkan kemampuan dan kemauan untuk belajar menjadi orangtua. Sayangnya belum ada sekolah khusus yang mengajarkan kita bagaimana sebenarnya menjadi orangtua bagi mereka.

Bagaimana kita dulu diasuh oleh orangtua kita nyaris begitulah yang akan kita ajarkan pada anak-anak, kecuali kita mau belajar. Celakanya era kita dulu dibesarkan sudah sangat berbeda dengan era kita sekarang. Banyak masalah yang timbul pada anak-anak kita jika kita tidak mengubah cara kita mengasuh anak.

Hampir semua anak mulai dari anak SD bahkan mungkin TK atau bahkan lebih kecil lagi sudah diperkenalkan dengan gadget tanpa saringan yang tepat. Celakanya orangtua memberikan anak-anaknya gadget tanpa mereka pernah tahu apa yang dilihat oleh anak-anaknya.

Kesibukan orangtua bahkan terkadang menjadi alasan supaya lebih mudah mengasuh anak-anak diberikan gadget. Di beberapa kasus bahkan anak-anak tidak bisa tenang jika gadget-nya diambil seolah dunia mereka ada di sana.

Baca juga:  Dwitunggal van Bali

Tentu ini menjadi suatu masalah yang tidak tampak karena sudah menjadi kebiasaan dan bahkan itu menjadi sebuah kesenangan rentan menimbulkan kecanduan atau mungkin kecanduan terselubung bahkan mungkin orang dewasa banyak mengalami. Melihat handphone setiap beberapa menit seolah rasanya ada yang kurang jika tidak membawa handphone. Lebih baik ketinggalan dompet daripada ketinggalan handphone.

Dulu jika orangtua menghukum anaknya dengan cara menguncinya di kamar anak-anak menjadi takut dan menangis. Tetapi sekarang jika anak-anak dikunci seharian di kamar dia tambah senang asal ada handphone.

Sesungguhnya gadget itu bukanlah akar masalahnya, itu hanyalah cara anak berekspresi untuk menyalurkan energi yang tertahan di dalam. Semua manusia yang terlahir ingin hidup aman dan berharga. Penghargaan (self-esteem) didapat dari dalam diri dan dari luar.

Baca juga:  Mengkritisi Abrasi di Bali

Penghargaan dari dalam diri adalah perwujudan dari energi kasih sayang yang bergetar dari orangtua kepada anak-anak yang kemudian berubah menjadi perasaan diinginkan, sehingga terbentuk rasa menghargai diri atau mencintai diri. Penghargaan dari luar datang dari lingkungan sosial setelah dia mulai menghinjak masa anak remaja. Dia cendrung ingin mendapatkan pengakuan lingkungan sosialnya.

Di mana pun dia bergaul di situlah dia akan ingin diakui, jika lingkungannya merokok maka dia akan merasa tidak berharga kalau dia tidak ikut merokok. Jika teman-temannya membicarakan games atau bermain games (online) bersama teman-teman maka di sana dia juga ingin menemukan sebuah pengakuan.

Jadi masalah utamanya adalah sebenarnya bukan gadget. Masih ada banyak masalah yang ditimbulkan akibat keinginan setiap manusia menemukan pengakuan.

BAGIKAN