Sejumlah ternak babi berada di kandang. (BP/dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Data jumlah babi yang mati yang dikeluarkan Dinas terkait diharapkan bisa direvisi. Sebab, data kematian babi yang mencapai 888 ekor atau 0,1 persen dari populasi babi ini dianggap tidak masuk akal. Demikian diungkapkan Ahli Virologi FKH Universitas Udayana, Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika, Jumat (21/2).

Menurutnya data tersebut tidak masuk akal untuk kasus penyakit baru ini. Untuk itu, Dinas terkait diharapkan melihat kembali dan bisa turun ke lapangan untuk pendataan.

Karena, angka ini penting sebagai acuan untuk penanganan. “Kalau angka yang disebutkan kecil, tentu tidak perlu dilakukan penanganan. Karena data yang sebenarnya jauh lebih baik daripada data angka yang disembunyikan. Tapi buktinya peternak saat ini ‘menjerit’, termasuk juga konsumen merasa ketakutan untuk mengkonsumsi daging babi,” pungkasnya,

Baca juga:  Hadir dengan Fasilitas Baru, Astra Motor Gunung Agung Tempati Lokasi Baru

Mahardika tidak menampik kondisi ini. Dari laporan yang diterima secara pribadi, memang kasus kematian babi masih ada dan masih tinggi.

Untuk itu, beberapa kabupaten di Bali yang belum ada kasus ini, seperti Bangli, Buleleng dan Negara, memang harus waspada tingkat tinggi. “Ini penyakit yang baru, yang muncul sejak Desember 2019. Bahkan belum dinyatakan secara resmi oleh Departemen Pertanian,” katanya saat dikonfirmasi, Jumat (21/2).

Baca juga:  Dari Sebelum Ditemukan Tewas dengan Kondisi Bugil hingga WHO Minta Negara Waspadai Varian Baru COVID dari Brazil

Secara scientific atau ilmiah, terkait kasus kematian babi ini, pihaknya di kampus sudah memiliki bukti ilmiah terkait jenis penyakitnya. Namun, pihaknya tidak memiliki hak untuk mendeklarasikan ke publik. “Kami dari kampus memiliki bukti, sejak bulan Desember. Virusnya apa, penyakitnya apa. Namun kami tidak memilki wewenang untuk mendeklarasikan,” bebernya.

Kalau dilihat dari alurnya, untuk menyampaikan ke publik, pihak Pemda tingkat II seharusnya melapor ke Provinsi, dan Provinsi melapor ke Kementerian. Setelah itu, barulah dari kementerian menyebutkan apa penyakitnya. “Kalau tidak ada laporan dari tingkat II dan Provinsi, Menteri tidak ada alasan untuk mengkonfirmasi,” ujarnya.

Baca juga:  Kenaikan Tarif Retribusi Pasar Tradisional Ditunda

Meski demikian, langkah yang perlu dilakukan pemerintah saat ini yakni, pemerintah tingkat II agar segera konsultasi kepada pemerintah tingkat I, dan pemerintah tingkat I agar mengkonsultasikan kepada pemerintah pusat. Memang menurutnya, ini agak telat, namun lebih baik daripada tidak sama sekali. (Yudi Karnaedi/balipost)

BAGIKAN