Wisatawan dan warga berbaur di tempat "pangelukatan" Pura Tirta Empul. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST. com – Sehari setelah Hari Raya Galungan, yaitu Umanis Galungan umat Hindu di Bali biasanya melakukan berbagai aktivitas. Tidak hanya berkunjung ke rumah sanak saudara (silaturahmi) dan berwisata ke tempat-tempat wisata, namun juga melakukan ritual melukat.

Tren, jika boleh disebut demikian, melukat di kalangan umat Hindu makin tinggi. Bahkan, kaum milenial pun kini banyak yang melakukannya.

Biasanya mereka berbondong-bondong bersama keluarga ke tempat-tempat yang ada sumber air suci. Bahkan, ada juga yang melukat ke pantai.

Menurut Sulinggih Ida Pandita Mpu Siwa Budha Daksa Darmita dari Griya Agung Sukawati, melukat di hari Umanis Galungan kemungkinan hanya kebiasaan saja. Sebab, belum ada sastra yang menyatakan secara jelas bahwa pada Umanis Galungan umat Hindu wajib melukat.

Baca juga:  Dari KMP Mutiara Timur 1 Tenggelam hingga Delapan Kamera ETLE Disebar di Bali

Bahkan, dikatakan fenomena tersebut agak terbalik atau nungkalik. Sebab, seharusnya umat Hindu melakukan pembersihan diri yang baik pada saat penampahan Galungan (sehari sebelum Hari Raya Galungan). Bahkan, pada saat penampahan Galungan umat Hindu wajib melakukan penglukatan sekaligus mabyakala.

“Bukan sembarangan (melukat), bahkan menurut kitab Sundarigama umat Hindu wajib melukat pada saat otonan atau mebayuh oton sebelum natab ayaban otonan dengan mantra khusus menurut kitab Wrhaspati kalpa,” jelasnya.

Ditambahkan ada penglukatan saat banyu pinaruh, sebelum mawinten, madiksa, mimpi buruk dan sebagainya. Singkatnya melukat ada dalam Veda dan sastra Hindu lainnya. “Yang jelas yang berkaitan dengan hari suci Galungan, saat yang tepat untuk melukat adalah hari penampahan, sehabis melukat baru mabyakala. Kecuali pada saat hari Umanis Galungan ada yang meotonan wajib melukat terlebih dahulu sebelum natab otonan di pemrajan kamulan,” ujarnya.

Baca juga:  Tekan Pelajar Terlibat Geng Motor, Ini Dilakukan Polresta

Akademisi Unhi Denpasar, I Kadek Satria, S.Ag.,M.Pd.H., mengatakan melukat pada saat Manis Galungan hanyalah tren untuk memenuhi kebutuhan keluarga agar bisa berkumpul sembari melalukan ritual pelukatan. Sebab, melukat yang tepat bisa dilakukan pada saat hari raya Sugihan Bali (5 hari sebelum galungan).

Alasannya, pada hari tersebut ada penyucian bhuana alit atau badan kasar. Kendati demikian, dosen filsafat Unhi Denpasar ini tidak melarang umat Hindu untuk melakukan pelukatan pada saat Umanis Galungan.

Baca juga:  Penangkaran Kunang-Kunang, Jadi Wisata Baru Desa Taro

Karena dari segi euforia hal tersebut sah-sah saja. Meskipun tidak termuat dalam sastra. “Supaya tidak terus salah kaprah, sebaiknya melukatlah pada saat Sugihan Bali, karena jelas termuat dalam sastra. Sehingga memiliki manfaat yang jelas,” tandasnya.

Selain itu, dikatakan bahwa tren umat Hindu melukat saat ini biasa mencari tempat-tempat yang bisa diabadikan untuk diunggah di media sosial (medsos), tanpa menetahui filosofi tempat melukat tersebut. Padahal, jika benar-benar ingin mendapat manfaat dari melukat, harusnya umat mencari tempat pelukatan yang benar-benar memberikan manfaat secara niskala. “Janganlah melukat milu-milu tuung, sehingga melukat tidak hanya menjadi euporia, namun memiliki manfaat untuk memohon penyucian diri,” pungkasnya. (Winatha/balipost)

BAGIKAN