Ternak babi. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kematian babi masih terus terjadi. Jangkauan wabah yang terjadi sejak Desember 2019 itu meluas ke kabupaten yang sebelumnya tidak terjangkit.

3 bulan berlalu, belum diketahui jenis penyakit yang menyerang babi milik peternak ini. Sempat disebut Demam Babi Afrika (DBA) atau African Swine Fever (ASF) tapi besoknya dianulir menjadi suspect ASF.

Menurut Ketua GUPBI Bali Ketut Hari Suyasa, Jumat (21/2), kasus kematian babi harus ditangani serius. Bukan hanya menjadi urusan kabupaten yang menjadi lokasi kematian babi, tapi provinsi. Ia pun meminta pemerintah provinsi agar membuat pernyataan resmi terkait kasus ini.

Baca juga:  Diralat! Kasus Babi Mati Statusnya Suspect ASF

“Kalau sudah begini kenyataannya Bali akan habis. Kalau itikad dan niat baik tidak dilakukan, tidak diaplikasikan ke dalam sebuah gerakan, ini akan membuat hal yang sangat berbahaya untuk Bali,” tegasnya.

Ia mengatakan babi bukan hanya produk ekonomis bagi masyarakat tapi juga merupakan produk budaya. Babi itu bagian dari budaya, upakara dan upacara serta rasa bagi masyarakat Bali.

Jika ada rencana atau wacana pemusnahan babi seluruh Bali untuk memutus rantai penyakit, harus dipastikan dan diterangkan terlebih dulu penyebab kematian babi tersebut. Penyakit babi tersebut hingga kini belum dipublikasikan secara resmi oleh pemerintah.

Baca juga:  Tambahan Pasien COVID-19 Bali di Bawah 100 Orang, Daerah Ini Terbanyak Laporkan Kasus

Jika penyakit babi ini mengacu pada ASF, salah satu cara untuk mengantisipasi dampak penularan adalah memusnahkan babinya. “Cuma sejauh mana itu efektif, perlu kita pertimbangkan. Sejauh mana itu tidak akan menimbulkan chaos di masyarakat ini juga perlu pertimbangan,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN