Oleh : K. Swabawa, CHA.
Rapat terbatas bidang pariwisata nasional yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta pada 17 Februari 2020 menegaskan bahwa masih banyak yang perlu ditingkatkan secara fundamental dan prinsip untuk menjadikan industri yang menggeliat ini benar-benar mampu menjadi sektor unggulan sebagai penyokong pembangunan nasional.
Sebagaimana disebutkan bahwa Indonesia masih sangat lemah dalam daya saing pariwisata dunia, terutama untuk kawasan regional ASEAN masih berada di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand, bahkan hanya beda tipis di atas Vietnam yang merupakan negara baru saja berkembang.
Presiden menyebutkan ada lima poin kelemahan Indonesia yang turut menjadi indeks daya saing pariwisata dunia yaitu meliputi: 1) Lingkungan yang berkesinambungan (sustainable environment); 2) Kesehatan dan kebersihan (health and cleanliness); 3) Infrastruktur kepariwisataan (infrastructure for tourism); 4) Keamanan (safety and security); dan 5) Teknologi informasi (information technology).
Untuk mengatasi dan mengupayakan hal tersebut semuanya, pemerintah pusat melalui pentahelix kepariwisataan nasional harus segera membuat key performance indicators (KPIs) terhadap setiap dimensi yang ada mengingat kelima indeks daya saing dimaksud di atas melibatkan banyak pihak dalam pengelolaan dan pembagian tanggung jawabnya. Jika mau jujur ingin menjadikan industri pariwisata sebagai sektor unggulan dan andalan nasional, maka sepertinya sudah mulai harus dapat diterima pemikiran bahwa ‘’seluruh bidang industri termasuk di luar sektor pariwisata wajib memahami tentang kepariwisataan secara prinsip dan karakteristiknya’’.
Karena industri pariwisata bersifat global dan mampu menarik keterlibatan banyak sektor di berbagai bidang. Bukan hanya bidang profesi, manufaktur, perdagangan, pendidikan, kesehatan, perbankan dan sejenisnya yang sebagian dari sektor swasta. Namun juga jajaran pemerintah dan komunitas masyarakat harus memahaminya pula.
Contohnya tentang isu keamanan dan keselamatan hendaknya jangan sampai pihak industri sudah benar-benar ‘’babak belur’’ karena citra pariwisata buruk akibat banyaknya kejadian pencompetan, penipuan, kekerasan atau lainnya baru ada tindakan agresif setelah kejadian. Masyarakat juga harus peka dan peduli terhadap para turis yang berkunjung, termasuk memberi informasi yang benar terkait destinasi maupun budaya lokal.
Jangan sampai para turis dijadikan ‘’sapi perahan’’ saja. Apalagi dengan maraknya praktik money changer ilegal yang kerap merugikan bahkan menipu wisatawan asing. Infrastruktur bahkan hal terkecil seperti penunjuk jalan dan trotoar harus nyaman bagi turis yang sedang menikmati liburannya di Indonesia.
Pemerintah (government) saatnya walk the talk dengan apa yang sudah menjadi program kerja nasional, inventarisasi regulasi yang sudah ada dan dipetakan dalam KPIs bagian mana perlu ditingkatkan, diakselerasi bahkan dihapus. Termasuk upaya law enforcement untuk mewujudkan standardisasi usaha kepariwisataan menuju kualitas tinggi dan keberlanjutan yang berbasis ekonomi kerakyatan dan kelestarian lingkungan.
Pihak akademis (academic) lebih mengintensifkan riset-riset dan inovasi yang bukan hanya mampu mengungkap hal baru (contoh; membuka destinasi baru, program studi baru, dll.) tetapi harus ada pemberdayaan secara strategis atas potensi dan program yang telah berjalan agar dapat mencapai hasil yang lebih maksimal dengan dampak bertingkat dan lebih cepat.
Sektor industri (business) fokus pada service delivery terkait kualitas untuk mencapai customer satisfaction sehingga mampu meningkatkan demand and competitiveness yang akhirnya bermuara pada peningkatan revenue and prices structure. Lalu berikutnya adalah elemen masyarakat (community) yang mungkin kita bisa lihat indikatornya sejauh mana perhatian dan pelestarian adat, budaya, lingkungan dan sebagainya telah berjalan.
Apakah masih ada pelaku seni yang menjalankan aktivitasnya? Apakah budaya asli daerah masih dihormati atau sudah ditinggalkan? Contohnya; penguatan lembaga adat di Bali merupakan langkah konkret pemerintah dalam upaya menjaga adat dan budaya agar tetap lestari di tengah modernitas kehidupan masyarakat saat ini dan ke depannya.
Banyak yang kurang menyadari bahwa peranan penting masyarakat dalam kepariwisataan Indonesia sangat tinggi, maka harus mulai disadarkan karena bahkan pariwisata itu sendiri adanya adalah di masyarakat! Baik tempat, pelaku, objek dan akses itu semua berada di dalam lingkungan masyarakat, baik perdesaan maupun perkotaan.
Elemen pentahelix terakhir adalah bidang jurnalistik (media), di sinilah kita bisa melihat bahwa pariwisata itu suatu industri yang sangat rentan (fragile), mudah berpengaruh karena isu sekecil apa pun. Berita hoax yang menyebar secara viral membuat calon turis batal mengunjungi destinasi tertentu, informasi negatif (misalnya penjambretan) ditulis dengan judul besar yang agak emosional dan provokatif membuat kesan suatu destinasi sudah tidak aman lagi.
Atau sebaliknya, viral berita positif seperti adanya kawasan wisata baru yang eksotik dan didukung sarana, aksesabilitas dan fasilitas penunjang yang memadai akan menyedot perhatian masyarakat dunia untuk berkunjung. Sehingga sudah perlu juga rekan-rekan media membuat suatu indikator sejauh mana pemberitaan yang konstruktif telah berjalan, seberapa media recovery mampu menstabilkan kondisi keterpurukan menjadi peluang yang bermanfaat ke depannya.
Dan tentunya masih banyak lagi yang dapat dijadikan parameter dan bahan analisis terhadap program pentahelix kepariwisataan tersebut. Namun masih menyisakan satu hal PR besar bagi saya terhadap implementasi dan dimensi Pentahelix dari pusat ke daerah-daerah.
Sebagaimana teori #MO (Mobilization and Orchestration) terkait era revolusi industri 4.0 ini, mobilisasi dan orkestrasi kelima elemen pentahelix ini membutuhkan satu commander alias dirigent sehingga orkes ini benar-benar merdu dan harmonis didengar oleh audience, akhirnya penonton puas. Nah, apakah dirigent itu sudah ada?
Dan mesti sampai ke tingkat daerah tentunya, karena aktivitas pariwisata adanya di daerah/provinsi. Jika dirigent itu belum ada, ya… wajarlah masing-masing jalan sendiri (atau bahkan tidak jalan?) tidak sesuai dengan visi yang sering diwacanakan.
Di luar lima indeks daya saing pariwisata dunia yang disebutkan di atas, Indonesia telah memiliki unique selling point (USP) yang tidak mudah untuk dibandingkan secara apple to apple dengan destinasi lainnya di dunia. Keindahan alam yang ditampilkan sebagai aspek geografis, warisan adat, budaya dan tradisi turun-temurun sejak ribuan tahun lalu, kehidupan berkesenian yang kaya ragam dan keramahan bangsa Indonesia sendiri merupakan identitas yang hakiki bagi kepariwisataan Indonesia dan menjadi magnet bagi wisatawan dunia untuk berkunjung.
Artinya, seluruh komponen bangsa harus menyadari adanya multiplier effect yang ditimbulkan baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kehidupan bangsa. Yang terpenting adalah memahami adanya manfaat tidak langsung yang diterima, contohnya suatu daerah yang sama sekali tidak memiliki potensi wisata, apalagi destinasi wisata, mendapatkan bantuan rutin dari pemerintah yang bersumber dari APBN atau APBD yang mana kita ketahui bersama bahwa saat ini pariwisata adalah sebagai penyumbang terbesar ke-2 untuk pendapatan nasional setelah perkebunan kelapa sawit.
Penulis, Wakil Ketua DPD IHGMA Bali