MANGUPURA, BALIPOST.com – Pertigaan maupun perempatan jalan diyakini merupakan tempat berkumpulnya roh-roh jahat atau bhutakala. Oleh karena itu, ritual tradisi ngerebeg atau yang sering disebut dengan “mekotek” dipusatkan ditempat-tempat tersebut.
Setiap melawati tempat-tempat itu krama Desa Munggu menyatukan ujung tongkat seperti membentuk piramida. Dari penyatuan tongkat terdengarlah suara tek, tek, tek, ditambah sorak sorai krama desa, itu diyakini dapat mengusir roh-roh jahat di wilayah tersebut.
Menurut I Made Rai Sujana, Bendesa Desa Adat Munggu, Mengwi, Badung, Sabtu (29/2) di sela-sela jalannya ritual, ini memiliki makna sebagai tolak bala untuk mengusir roh-roh jahat yang hendak mengganggu masyarakat, khususnya di Desa Adat Munggu, Badung.
Jro bendesa menceritakan bahwa, awalnya ngerebeg dilakukan dengan tombak. Kemudian pada masa penjajahan Belanda tradisi ini sempat dilarang, karena dikira akan mengadakan pemberontakan.
Beberapa kali tradisi ini sempat ditiadakan penyelenggaraannya. Akibatnya terjadi wabah penyakit atau gerubug menyerang warga desa, bahkan banyak pula warga yang meninggal dunia.
Kondisi tersebut membuat beberapa tokoh adat dan agama melakukan negosiasi dengan Belanda, dan akhirnya tradisi ngerebeg diijinkan kembali digelar. Tetapi sarana yang dipakai bukan tombak, namun diganti dengan kayu “pulet” yang panjangnya sekitar 3,5 meter. “Mulai saat itu tradisi ngerebeg yang biasanya menggunakan tombak diganti dengan sebatang kayu pulet. Dari keyakinan itu, tradisi ngerebeg sebagai penolak bala atau menjauhkan dari hal-hal yang negatif,” terangnya.
Selain itu, tradisi mekotek merupakan upaya penghormatan pada para pahlawan. Awalnya tradisi ini diselenggarakan untuk merayakan dan menghormati kemenangan perang oleh para prajurit dimasa kerajaan Mengwi.
Jro bendesa pun memaparkan secara sekilas, mulai dari kerajaan Mengwi yang dulu beristana di Munggu, dan upayanya dalam mempertahankan wilayah kekuasaannya di wilayah Blambangan, Jawa Timur.
Sebelum pasukan Mengwi yang bernama pasukan “goak selem” berangkat, tepatnya pada hari Tumpek Kuningan, Raja Mengwi melakukan semedi di Pura Dalem Kahyangan Wisesa, Munggu. Sang raja pun mendapatkan wahyu dari semedinya.
Pasukan yang diberangkatkan untuk mempertahankan wilayah kerajaan pun berhasil mengusir penyerang. Kembalinya pasukan yang membawa kemenangan atau keberhasilan perang itulah diperingati sebagai tradisi ngerebeg. “Sehingga pada Tumpek Kuningan, tradisi ngerebeg terus diperingati di Desa Adat Munggu yang merupakan suatu penghormatan kemenangan perang kerajaan Mengwi, penghormatan pada para pahlawan,” paparnya.
Sementara itu, salah seorang wisatawan berkewarganegaraan Belanda, Marlin yang menyaksikan tradisi mekotek mengaku sangat terkesan. Ia menyatakan bahwa ini merupakan pertama kalinya melihat tradisi mekotek secara langsung.
Semua peserta terlihat sangat kuat dan menikmati pelaksanaan ritual ini. “Ini pertama kali datang ke sini. Dan kami suka sekali. Saya rasa tidak ada tradisi seperti ini di tempat lain. Ini satu-satunya dan ada di Munggu. Ini tidak ada di Eropa maupun Belanda. Jadi ini sangat spesial,” terangnya. (Eka Adhiyasa/balipost)