Pariwisata Bali tahun ini bisa dikatakan bersedih. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Setelah Bali terpuruk akibat erupsi Gunung Agung, dilanjutkan krisis global, kini kasus virus Corona benar-benar membuat pariwisata Bali terjungkal. Ini sesuai dengan konsep rwabhineda di Bali ada suka dan duka, ada masa naik ada masa turun.
Jika mau jujur, saat terpuruk inilah sebenarnya menggambarkan kondisi sebenarnya. Bali dengan jumlah hotel sesuai kapasitasnya, wisman dan wisatawan domestik ke Bali sesuai angka terkini, itulah gambaran kemampuan Bali sebenarnya. Tidak seperti sekarang, semua berlomba membangun akomodasi perhotelan, vila dan sebagainya. Dengan alasan akhir semakin banyak menerima Pajak Hotel dan Restoran (PHR).
Sudah dipastikan akibat virus Corona yang menyebar ke mancanegara, jumlah wisatawan ke Bali mengalami penurunan. Padahal kunjungan wisatawan mancanegara di Bali mencapai titik tertinggi pada Agustus 2019. Badan Pusat Statistik (BPS) Bali mencatat sebanyak 601.884 wisatawan luar negeri datang ke Bali selama Agustus lalu.
Kementerian Pariwisata sebelumnya menyebut 15.000 wisatawan luar negeri datang ke Bali setiap harinya. Namun, setelah kasus Corona jumlahnya menurun drastis. Bahkan pemerintah pusat membuat kebijakan kejutan Bali bebas dari pajak PHR. Kompensasinya pemerintah menyiapkan Rp 3,3 triliun sebagai dana insentif dibagi 10 destinasi wisata di Indonesia.
Kebijakan ini direspons negatif Badung bahwa Badung menolak kebijakan pusat. Langkah ini jelas tak mungkin dihadang dan dilawan. Pelaku pariwisata, elite politik dan komponen lainnya menyikapi kondisi dengan bijaksana.
Lihat saja Arab Saudi kehilangan jutaan dolar AS dari biaya umroh dan naik haji dengan menutup keran tersebut. Kondisi ini harus dijadikan bahan introspeksi diri.
Para tetua Bali menyebut kita harus siap hidup lacur lan sugih. Artinya, tangguh hidup dalam kondisi apa pun juga, baik saat panen PHR maupun saat masa paceklik PHR.
Kejadian ini harus dijadikan bahan introspeksi diri bagi jajaran pariwisata Bali. Banyak yang mengatakan krama Bali adalah yang paling banyak mengeluarkan biaya untuk menjaga aset wisata lewat wisata budaya. Bayangkan berapa rupiah dihabiskan krama Bali (baca Hindu – red) untuk berupacara mulai dari yadnya setiap hari, yadnya setiap 15 hari sekali seperti purnma-tilem, yadnya sebulan sekali seperti tumpek, dll. dan yadnya tiap enam bulan sekali.
Semua upacara diarahkan untuk keajegan dan kerahayuan jagat Bali secara tulus dan ikhlas. Belum termasuk upacara yang tingkatannya lebih tinggi seperti ngenteg linggih, macaru, ngaben, mamukur dan maligia menghabiskan ratusan juta. Nah, semua ini dipakai atraksi wisata bagi wisman. Namun jujur kita akui belum ada kontribusi pengusaha dan perusahaaan pariwisata untuk krama Bali.
Mungkin kasus Corona yang memberi pelajaran bagi kita untuk menata Bali dan hidup tangguh dalam kondisi apa pun. Coba bayangkan, andaikata krama Bali diam dalam hal budaya, apa yang mau dijual oleh pelaku pariwisata. Semuanya akan rugi dan merugi. Di sinilah diperlukan sinergisitas semua komponen pariwisata Bali membantu SDM atau pendukung budaya Bali itu sendiri.
Sopir taksi siap sepi penumpang, karyawan hotel siap tak mendapat pendapatan tambahan. Owner pariwisata juga siap puasa dan merugi karena sudah pernah menikmati masa kejayaan pariwisata Bali.