IHSG
Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh: Prof. Dr. IB Raka Suardana, S.E., M.M.

Pemerintah memutuskan membebaskan pungutan pajak hotel dan restoran (PHR) untuk 33 kabupaten/kota yang bersinggungan dengan 10 destinasi wisata prioritas. Kebijakan yang berlaku selama enam bulan per Maret 2020 ini diambil untuk membangkitkan lagi iklim pariwisata yang terpukul akibat penyebaran virus Corona (Covid-19).

Bagi kabupaten/kota yang ada di Bali yang selama ini mengandalkan pendapatannya dari sektor priwisata, jelas akan merasakan dampak langsung akibat kebijakan tersebut. Terutama Kabupaten Badung, Gianyar dan Kota Denpasar, sebab sektor ini merupakan andalan. Dampaknya tentu akan terjadi banyak koreksi atas APBD yang ada, dan mungkin banyak program akan disesuaikan di tahun anggaran 2020 ini.

Misalnya Kabupaten Badung, akan terancam kehilangan pendapatan hingga Rp 1,6 triliun bila kebijakan stop pemungutan PHR tersebut dilaksanakan. Jika bercermin pada realisasi PHR di masa lalu saat pariwisata normal, pendapatan Badung hingga triwulan II biasanya Rp 1,6 triliun. Kalau peniadaan pajak berlaku enam bulan, artinya triwulan I hingga triwulan II, itu berarti pendapatan dari PHR sejumlah Rp 1,6 triliun akan hilang selama itu.

Baca juga:  "Grand Design" Bali Pascapandemi COVID-19

Bagi Provinsi Bali, pembebasan pungutan PHR akan berdampak tidak langsung. Dampak virus Corona (Covid-19) berakibat industri pariwisata mengalami penurunan, jelas masyarakat yang selama ini mengandalkan pendapatannya dari sektor ini pendapatannya akan berkurang. Dengan berkurang pendapatan, maka mereka tidak akan melakukan transaksi jual-beli kendaraan bermotor, sehingga pendapatan PKB dan BBNKB bagi provinsi tentu akan menurun pula.

Selain itu, kelesuan ekonomi akan terjadi. Masyarakat yang selama ini bersentuhan langsung dengan industri pariwisata, seperti guide, pegawai hotel, sopir boat, pengemudi angkutan wisata, pelaku usaha kecil dan mikro (UKM) yang ada di seputaran destinasi wisata yang biasa dikunjungi oleh para wisatawan (khususnya wisatawan Tiongkok) serta yang lainnya, semuanya akan menerima dampak langsung penurunan pendapatan. Ujung-ujungnya jelas perekonomian akan melambat.

Baca juga:  WNA COVID-19 Dikremasi di Mumbul 

Tahun 2020 ini, Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan Bali pada level 6,0. Tampaknya proyeksi ini akan terkoreksi akibat wabah virus Corona (Covid-19), syukur-syukur bisa pada tingkat yang sama seperti  tahun 2019 berkisar pada level 5,8%.

Dengan dibebaskannya PHR selama enam bulan bagi 10 destinasi prioritas, pemerintah memang mengganti sumber pandapatan yang hilang itu dengan akan memberikan hibah sebesar Rp 3,3 triliun kepada sepuluh destinasi prioritas itu. Bali pasti akan kebagian, tetapi hibah yang akan diterima tampaknya tidak akan mampu menutupi “bolong” APBD yang sudah diketuk di tingkat kabupaten/kota, di mana pendapatan yang berasal dari PHR jelas sudah sesuai proyeksi dengan asumsi keadaan industri pariwisata normal.

Kebijakan pembebasan PHR tentu sudah dipertimbangkan matang, dengan target industri pariwisata akan membaik kembali. Jika membaik, diharapkan pendapatan masyarakat yang bersentuhan langsung dengan industri ini akan membaik pula, meski pemerintah daerahnya tidak memperoleh apa-apa. Sebaliknya jika tidak dibebaskan PHR-nya, geliat industri pariwisata dikhawatirkan akan terus mengalami penurunan, sehingga tentu berdampak bagi masyarakat dan juga pemerintah daerah. Kedua-duanya akan kena dampak tidak baik.

Baca juga:  WNI dari Wuhan Tiba di Natuna

Sekarang yang paling penting adalah mekanisme penyaluran dan jumlah hibah pengganti PHR harus jelas. Jangan sampai daerah lain yang industri pariwisatanya berkontribusi kecil terhadap pendapatan devisa, memperoleh lebih banyak dana hibah.

Selain itu, seharusnya ada kebijakan bagi perusahaan airline agar mau menurunkan harga tiket pesawat, serta para pengusaha perhotelan agar mau menurunkan rate kamarnya.

Penulis, Dekan FEB Undiknas Denpasar, Wakil Ketua ISEI Denpasar Bali dan Pembina Divisi Pawongan Paiketan Krama Bali

BAGIKAN