Bali memang sudah terbiasa dengan pariwisata. Demikian juga Bali sudah terbiasa terhadap dampak anjloknya pariwisata. Sebut saja Bom Bali 1 dan Bom Bali 2. Keduanya membuat lumpuh pariwisata Bali beberapa lama. Demikian pula krisis ekonomi 1998. Dampaknya juga sama. Pariwisata juga terjun bebas.
Namun berbagai permasalahan tersebut disikapi secara wajar. Bahkan kondisi tersebut menjadi wahana bagi komponen pariwisata Bali untuk berbenah. Sejumlah kebijakan pusat juga dikeluarkan. Misalnya mendorong kegiatan pemerintah untuk dilaksanakan di Bali.
Tidak ada regulasi yang malah merugikan Bali seperti yang dilakukan pemerintah saat ini. Seperti rencana pengehentian sementara pungutan pajak hotel dan restoran (PHR). Sejalan dengan rencana itu memang pemerintah akan menguatkan dana bantuan khusus untuk sejumalh provinsi. Jumlahnya Rp 10 triliun.
Bagi daerah lain yang tidak sepenuhnya pengandalkan pendapatan dari pariwisata, dipastikan itu sangat membantu. Namun bagi Bali, tentu hal tersebut sangat memberatkan. Apalagi kalau hitung-hitungannya dari bantuan khusus tersebut Bali hanya dapat sekitar Rp 7 – 8 triliun. Itu pun kalau pemerintah pusat mengizinkan dan tidak ada protes dari pemerintah daerah lainnya.
Jumlah itu tentu sangat kecil bagi Bali. Karenanya sejumlah komponen termasuk sejumlah anggota DPRD menolak hal tersebut. Mereka menilai kebaikan tersebut memberatkan dan merugikan Bali. Intinya, mereka ingin menyatakan bahwa kebijakan tersebut sangat berlebihan menyikapi penurunan wisatawan saat ini. Sebab di masa low season saat ini ditambah dengan merebaknya isu Corona, akan sangat sulit menambah wisatawan. Mereka menilai apa yang dilakukan selama ini dengan menurunkan tarif pesawat terbang menuju Bali dan kebijakan diskon kamar hotel sudah lebih dari cukup.
Selebihnya berikan masyarakat Bali dan pemerintah di Bali yang mengaturnya. Artinya, berikan mereka mencari formulasinya untuk menekan efek yang ditimbulkan. Sekaligus bisa memberi nilai tambah dalam jangka panjang.
Seperti diwacanakan saat ini, untuk kembali menyeimbangkan ekonomi Bali. Selama ini Bali didominasi pariwisata. Hanya bertumpu pada satu sektor. Ketika sektor pariwisata menuai masalah, secara langsung berpengaruh pada ekonomi masyarakatnya. Karenanya Bali harus kembali mereposisi sektor yang nantinya berkontribusi secara sinergi menguatkan ekonomi Bali. Industri kecil dan pertanian adalah dua sektor yang kini terabaikan. Kita kadang terlena bahkan abai terhadap keduanya. Padahal sudah terbukti kedua sektor itulah yang menghidupi Bali ketika pariwisata terpuruk.
Nah, ketika pariwisata kembali lesu seperti saat ini maka keduanya diharapkan tampil. Penampilannya saat ini bukan sekadar mengisi kekosongan dampak Corona, tetapi harus menjadi momentum untuk menguatkannya secara berkelanjutan.
Gubernur Koster telah meletakkan tonggak untuk itu. Penerbitan pergub pemanfaatan buah lokal salah satunya. Ini merupakan regulasi yang bertujuan menguatkan sendi-sendi ekonomi Bali. Harapannya Bali tidak tergantung pada buah luar dan sekaligus menata kembali sektor pertanian.
Namun bukan berarti keluarnya pergub telah menyelesaikan semuanya. Tidak. Perlu langkah selanjutnya untuk mendorong petani berproduksi.
Jangan hanya berwacana. Perlu langkah nyata dalam penguatannya. Petani harus diberikan pendampingan. Harus ada insentif kepada krama Bali yang mau mengolah tanahnya. Ini menjadi penting, sebab banyak tanah di Bali dibiarkan terbengkelai. Mereka lebih merasa hidupnya terjamin ketika memilih menjadi buruh proyek. Mereka lebih nyaman menjadi karyawan ketika bekerja di perusahaan, walaupun gajinya sebatas UMR.
Inilah faktanya. Banyak generasi muda yang tak tertarik lagi menjadi petani. Makanya pemerintah perlu mendorong, memberi insentif dan memberi kepastian bahwa sektor pertanian memang pekerjaan yang menjanjikan.
Bukan sekadar janji. Apabila kepastian itu ada, maka secara perlahan akan mengubah mindset mereka untuk bergelut di sektor pertanian secara modern tanpa meninggalkan kearifan lokal yang selama ini menjadikan sektor pertanian menjadi daya tarik wisatawan.