Oleh : AA Sri Wahyuni
Seorang anak laki-laki disebut demikian karena saat lahir terlihat alat kelaminnya laki-laki oleh dokter yang menolong persalinan. Selanjutnya didaftarkan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil secara resmi dan sah menurut hukum perundang-undangan resmi mendapat identitas seorang anak laki-laki.
Waktu terus berjalan anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan umurnya, namun ada perkembangan lain yang dirasakan namun sulit untuk diungkapkan oleh anak, apalagi ke orangtua. Masyarakat dan orangtua biasanya terpaku dengan norma-norma yang biasa di masyarakat.
Sehingga tidak ada yang berani mengungkapkan apa yang dirasakan anak-anak tersebut, apalagi mencoba menelusuri kenapa anaknya berbeda. Apa perlu konsultasi dengan ahlinya? Bagaimana cara melakukan pendekatan. Lebih sering dilakukan mencoba mencari kambing hitam bahwa keadaan ini dipengaruhi oleh teman-teman/lingkungan.
Kasus-kasus seperti ini sering terjadi, baru akan dianggap masalah jika lingkungan seperti sekolah, kampus, warga banjar, mulai dibuli, membuka diri dengan sahabat atau melalui media sosial, mulai menjadi gunjingan sebagai melambai, homri, LGBT, dan lain-lain. Masih banyak orangtua atau masyarakat kurang memahami atau mengabaikan, menganggap itu tidak mungkin terjadi pada anak atau anggota keluarganya?
Pernahkah meluangkan waktu untuk mendengarkan apa yang mereka rasakan? atau kita mendiskriminasikan, bahkan berpikir akan dapat menular atau memengaruhi anak-anak lainnya?
Demikian contoh kasus yang terjadi pada anak perempuan yang terlahir secara hukum positif adalah seorang anak perempuan. Pada beberapa kasus jika kepribadiannya berkembang di lingkungan yang berpikir positif bahwa itu adalah kekurangan, maka anak-anak akan perkembangan mentalnya wajar sesuai umur, percaya diri dan ketahanan mental dari ejekan atau bullying.
Jika dilakukan wawancara, mereka selalu berusaha ingin seperti apa yang diharapkan oleh lingkungan yaitu berperilaku sesuai jenis kelamin (sesuai akta kelahiran). Siapa yang melindungi mereka, jika tidak pernah ada yang mau mendengar, mengerti dan memahami.
Mereka punya hak asasi yang sama dengan yang dianggap normal oleh masyarakat. Negara harus mencarikan jalan terbaik, agar mereka punya masa depan mendapat perlindungan, karena siapa pun tidak pernah menginginkan dilahirkan berbeda dan atau tidak dapat menjalani kehidupan wajar seperti diharapkan keluarga dan masyarakat.
Rancangan Undang-undang Ketahanan Keluarga, walau masih berupa rancangan akan membuat mereka semakin tersudutkan seperti tidak diharapkan kehadirannya oleh negara, padahal mereka tidak pernah berharap berbeda seperti orang lain. Pernahkah kita mendengarkan suara hati mereka?
Pernahkah kita jujur menyatakan bahwa banyak faktor yang menyebabkan anak-anak ini berbeda. Apakah saat anak-anak yang dilahirkan mengalami gangguan perkembangan fisik dan mental (cerebral palcy, autis, retardasi mental, down syndrom, dll.) mereka sama dengan anak-anak normal dengan kelainan biologis seperti kromosom seksnya tidak normal, atau bahkan yang hemaprodite, setelah masa pubertas berkembang organ seksual sekunder seperti payudara, bulu-bulu pubis, ketiak, kumis, perubahan suara dan lainnya.
Pada kasus ini setelah melalui pemeriksaan yang panjang diketahui, kedua organ seksual sekundernya termasuk rahim, berkembang tetapi tidak sempurna. Siapa yang berharap ini terjadi dan mereka punya hak asasi manusia. Apakah sudah tidak ada tempat untuk mereka punya masa depan dan hidup wajar?
Mereka anak-anak Tuhan yang diharapkan kelahirannya, di negara kita yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sudah tercantum akan hak dan kewajiban warga negara tanpa membedakan apakah normal, berkebutuhan khusus, istimewa atau lainnya dan Undang-undang Perlindungan Anak sudah menjamin hak anak sejak dalam kandungan.
Tidak satu pun orangtua di dunia ini yang berharap anaknya lahir tak sempurna, apalagi yang dalam kandungan bahkan alat ultra sonografi generasi terbaru 4-5 dimensi belum dapat medeteksi kelainan perilaku di masa mendatang. Jika harapan tidak terkabul membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menerima bahwa mereka adalah anak-anak istimewa yang mempunyai hak, kewajiban dan dilindungi oleh negara tanpa ada perbedaan.
Anak-anak yang terlahir berbeda dalam hubungan dengan RUU Ketahanan Keluarga lebih mengarah kepada masyarakat yang memiliki orientasi yang berbeda menurut padangan normal rata-rata masyarakat yaitu heteroseksual dan mereka wajib menikah. Pernahkah para anggota dewan yang terhormat yang mengusulkan RUU Ketahanan keluarga turun ke masyarakat dan memahami kondisi masyarakat yang istimewa atau khusus, apakah mereka golongan masyarakat yang sudah dapat dipastikan akan menjadi warga negara kelas dua (pelaku kejahatan), yang wajar heteroseksual, menikah, pastilah akan menjadi panutan/baik tidak tercela), cobalah dikaji secara ilmiah berbasis bukti, apakah perlu diatur dalam suatu undang-undang.