GIANYAR, BALIPOST.com – Desa adat terus termotivasi dengan adanya program Pemrov Bali ‘’Nangun Sat Kerthi Loka Bali’’. Tak hanya melakukan penguatan di bidang seni budaya, juga berupaya mandiri dalam bidang ekonomi.
Mewujudkan kemandirian itu dilakukan dengan mengoptimalkan potensi yang ada. Seperti yang dilakukan Desa Adat Suwat, Gianyar. Potensi apa yang dikembangkan desa adat ini untuk memperkuat perekonomian?
Bendesa Adat Suwat, Ngakan Putu Sudibya, meyakini program ‘’Nangun Sat Kerthi Loka Bali’’ dapat memperkuat desa ada di Bali, sehingga desa adat tidak hanya berkutat dalam hal upacara. ‘’Jadi, dengan adanya program dengan visi ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali,’ masyarakat adat mendapat payung yang lebih kuat. Termasuk juga dengan dikeluarkannya sejumlah perda, desa adat bisa mengambil peran di bidang ekonomi,’’ katanya.
Menurutnya, melalui program ‘’Nangun Sat Kerthi Loka Bali’’, desa adat diarahkan untuk bisa mandiri, terutama secara ekonomi. ‘’Selama ini pusat pertumbuhan ekonomi selalu ada di kota, namun ke depan pusat perekonomian juga harus datang dari desa. Sejak program ini dicetuskan banyak desa adat yang memikirkan Baga Utsaha Padruwen Desa Adat (BUPDA), yang nantinya akan menjadi sumber pendapatan desa adat,’’ katanya.
Terkait penggunaan anggaran Rp 300 juta bantuan dari Pemerintah Provinsi Bali, pihaknya sudah menyiapkan sesuai juknis yang ada. Namun, diakui, tahun ini penggunaan anggaran tersebut lebih diprioritaskan menopang pembiayaan upacara. ‘’Ini kami lakukan agar beban krama terkait biaya upacara itu berkurang, sehingga anggaran itu dominan diarahkan untuk menopang kebutuhan upacara,’’ katanya.
Meski demikian, anggaran tersebut tetap digunakan untuk pengembangan potensi desa, dalam hal ini untuk promosi wisata Air Terjun Desa Suwat. Objek itu sudah dikembangkan secara optimal tahun sebelumnya, sehingga kini digencarkan pada tahap promosi. ‘’Kami sudah punya objek wisata, jadi sekarang lebih banyak promosi untuk tempat kami ini,’’ katanya.
Dikatakan, meski baru tiga bulan dicetuskan, objek wisata air terjun ini sudah dikunjungai puluhan wisatawan setiap harinya, dengan harga tiket Rp 15 ribu untuk dewasa dan Rp 10 ribu untuk anak-anak. ‘’Dari jumlah itu saja sudah ada rata-rata pemasukan Rp 500 ribu setiap hari. Kalau per bulan sekitar Rp 15 juta,’’ katanya.
Dikatakan, sampai saat ini dominan pengunjung masih seputaran wisatawan Eropa, Australia hingga Amerika. Sementara untuk wisatawan Tiongkok memang mulai sepi akibat kasus Covid-19. ‘’Kalau lokal juga mulai sepi, tapi untuk wisatawan Eropa, Australia, Amerika hingga Kroasia itu masih ada saja setiap hari,’’ katanya.
Tidak hanya air terjun, kini pihaknya juga sedang menata beji yang ada tidak jauh dari lokasi objek tersebut. Diharapkan beji ini akan menjadi daya tarik baru, menopang Air Terjun Desa Suwat. ‘’Jadi kita masih terus melakukan pengembangan di seputaran objek ini,’’ tandasnya. (Manik Astajaya/balipost)