DENPASAR, BALIPOST.com – Merebaknya virus corona atau COVID-19 hingga ke Bali menyebabkan segala bentuk kegiatan yang mengundang banyak orang dihentikan. Begitu juga dengan berbagai prosesi hari raya suci Nyepi Tahun Saka 1942 dibatasi.
Bahkan, pengarakan Ogoh-Ogoh yang bisa dilakukan sehari sebelum hari Raya Nyepi dilarang oleh Pemerintah Provinsi Bali. Namun, melasti tetap dijalankan dengan mambatasi keramaian.
Kendati demikian, di tengah masyarakat pelarangan pawai Ogoh-Ogoh ini menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan bahwa tradisi tahunan ini harus tetap dilaksanakan agar tidak ada marabahaya di banjar mereka.
Sehingga, mereka menilai himbauan pemerintah Provinsi Bali tidak masuk akal. Ada juga yang mengatakan akan tetap melaksanakan pawai ogoh-ogoh demi tradisi Bali sebagai wujud menjaga keajegan Bali.
Sulinggih Ida Pandita Mpu Siwa Budha Daksa Darmita dari Geria Agung Sukawati, menegaskan bahwa antara tradisi dan ritual jelas berbeda. Tradisi adalah sebuah kegiatan yang dilakukan secara berkala dan berulang-ulang sebagai suatu kebiasaan, tetapi tidak ada aturan atau hukum yang mengikat.
Namun jelas mempunyai nilai positif ataupun nilai negatif. “Pertanyaannya sekarang, apa betul ogoh-ogoh itu ada kaitannya dengan hari Nyepi? jawabannya tidak, tetapi pengerupukan itu jelas ada kaitannya dengan hari Nyepi,” tegasnya, Sabtu (21/3).
Dengan demikian, dikatakan bahwa pengarakan ogoh-ogoh dapat dikatakan tradisi, karena sudah dijalankan secara berkala dan berulang-ulang sebagai suatu kebiasaan, tetapi tidak ada aturan atau hukum yang mengikat. “Yang jelas pengarakan ogoh-ogoh itu tidak ada kaitannya dengan ritual pengrupukan, belum ada sastra agamanya, makanya dapat dikatakan sebagai sebuah kreativitas tradisi baru wujud dari cipta karsa manusia yang mengandung unsur nilai estetis. Bisa dihentikan sementara karena situasi yang kurang kondusif,” tandasnya.
Sementara itu, dijelaskan bahwa ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan suatu agama yang telah ada tatanannya atau hukum-hukum yang diatur dalam sastra agama. Sehingga, pelaksanaannya tidak bisa dihentikan dan tidak bisa dilakukan secara sembarangan. “Misalkan melasti dengan menuntun pratima ke laut atau ke danau atau ke sumber air suci lainnya atau bisa “ngubeng” jika situasi tidak kondusif. Ritual ini tetap jalan sesuai petunjuk sastra agama Sundarigama,” ujarnya.
Ida Pandita Darmita menilai bahwa intruksi Gubernur Bali sangat tepat dilakukan. Larangan pengarakan ogoh-ogoh di tengah situasi COVID-19 tujuannya untuk menjaga kesehatan masyarakat Bali.
Bahkan, tujuan ini dinilai sangat mulia. Apalagi, larangan pengarakan ogoh-ogoh tidak memiliki dampak secara niskala. Namun, secara sekala jelas larangan tersebut agar krama Bali terhindar dari penyebaran COVID-19 yang sangat bahaya. (Winatha/balipost)