Ilustrasi. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Merebaknya Pandemi Global COVID-19, termasuk di Bali, menjadi perhatian Forum Advokasi Hindu Dharma (FADH). Dalam sebuah surat yang ditujukan ke Gubernur Bali, Wayan Koster, FADH memaparkan alasan perlunya strategi lebih agresif dalam menghadapi Virus SARS-CoV-2 ini.

Dijelaskan Ketua Umum Forum Advokasi Hindu Dharma, dr. Wayan Sayoga, dalam kurva epidemik, ada 3 fase, yaitu fase pembendungan (containment), fase penularan (community transmission), dan fase ke-3 saat wabah pecah (outbreak). Jika satu fase lebih awal tidak ditangani dengan cepat dan tepat, maka akan menuju fase outbreak. “Jumlah pasien COVID-19 akan bertambah secara eksponensial, sehingga rekomendasi paling maksimal untuk menangani wabah adalah lockdown, terutama di daerah-daerah yang rawan infeksi,” paparnya.

Bali yang berpenduduk 4,36 juta, per 25 Maret 2020, telah mencatat kasus positif sebanyak 9 orang dengan kematian sebanyak 2 orang (WNA). Total akumulatif kasus PDP (hingga 24 Maret 2020) adalah 111.

Dengan data ini, dimana angka riil di lapangan berdasarkan agregat COVID-19 sebesar 27 kali antara kasus yang terperiksa secara aktif dan kasus riil yang tidak diperiksa, artinya ada
27 x 9 = 243 pasien positif yang belum ditemukan. Sedangkan PDP (pasien dalam pengawasan) adalah 27 x 111 = 2.997 orang.

Jika memakai skenario terburuk yang terjadi di Italia, dimana ada 800 kasus positif per 1 juta penduduk. Dalam 1 bulan ke depan, diperkirakan Bali dengan penduduk 4,36 juta orang, akan ada 4,36 x 800 kasus = 3.488 kasus positif COVID-19.

Bahkan strategi melambatkan kurva epidemiologi Pandemi COVID-19 hingga tercipta imunitas komunitas (herd immunity) belum cukup. Tingkat kesakitan dan kematian, hanya akan turun 1/3-nya.

“Fasilitas Kesehatan akan tetap kolaps, yang berarti akan menambah jumlah kematian secara drastis,” sebut Sayoga dalam surat tersebut.

Baca juga:  Belasan Tahun Tekuni Rajutan, Ekspor Produknya Rambah Amerika hingga Eropa

FADH pun meminta perlu segera dilakukan strategi lebih agresif dari sekedar Social Distancing yang saat ini sudah dilakukan, agar jumlah yang sakit dan meninggal dapat menurun sedemikian hingga fasilitas kesehatan masih mampu menanganinya. Termasuk, tidak sampai kekurangan ventilator yang sangat krusial dalam kasus COVID-19 dan vaksin ditemukan (tidak lagi berharap pada herd immunity).

Strategi ini harus dijalankan dengan ketat pada minimal 70-75% populasi selama vaksin belum ditemukan. Mengingat data-data di atas, maka diperlukan intervensi pemerintah yang tegas, penegakan hukum, serta peran serta aktif dari masyarakat.

“Pemerintah sebagi pemangku kebijakan, tidak bisa tidak harus proaktif,” tegasnya.

Untuk itu, Forum Advokasi Hindu Dharma (FAHD) merekomendasikan 12 langkah proaktif.

Forum Advokasi Hindu Dharma (FAHD) menyadari tentang dampak ekonomi tentang usulan-usulan di atas, termasuk usulan pertama. Namun, dampak kesakitan dan kematian yang diakibatkan jika kita mengabaikannya, terlalu mengerikan.

“Di samping itu, jika kita abai, sesungguhnya dampak kerusakan ekonomi yang terjadi akan jauh lebih besar. Lebih baik kita “tiarap” terlebih dahulu selama beberapa bulan, sambil menunggu vaksin tersedia, daripada “hancur lebur” akibat kesakitan dan kematian yang tak terbendung,” ujarnya.

Forum Advokasi Hindu Dharma (FAHD) menghimbau seluruh masyarakat agar tidak panik, namun juga tidak “menggampangkan” pandemi ini. Senantiasa waspada, bukan was-was.

“Semoga kita semua diberikan kekuatan, rasa empati, dan kebersamaan yang semakin kuat sehingga kita dapat melewati “cobaan” ini. Dan semoga dengan dilakukannya semua langkah proaktif di atas, kita bisa melewati pandemi ini dengan selamat dan rahayu,” tutupnya. (kmb/balipost)

Langkah Proaktif dari FAHD Atasi COVID-19 :

Baca juga:  Kasus Penyerangan Brimob dan Perampasan Senpi Mulai Ada Titik Terang

1. Melakukan isolasi pada kasus-kasus yang tidak menunjukkan gejala sakit namun sudah positif. Sementara keluarga mereka dan semua yang pernah kontak dengan mereka, di karantina.

Semua pertemuan di publik dan sebagian besar tempat kerja ditutup. Sekolah dan universitas, ditutup. Penjagaan jarak fisik antar warga, harus betul-betul di patuhi. Lakukan hal ini sampai vaksin betul-betul ditemukan.

2. Pemberian Vitamin C secara massal (rutin setiap hari hingga pandemi berakhir) kepada seluruh masyarakat. Dosis maintenance, dikonsultasikan dengan otoritas medis setempat. Vitamin C ini penting dalam imunitas tubuh melawan virus sehingga masyarakat menjadi lebih sulit tertular dan lebih sulit sakit.

3. Rapid Test yang harus diperluas hingga ke mereka-mereka yang mengalami anosmia (kehilangan indera bau dan rasa) secara mendadak, tanpa mengalami gejala-gejala sakit lainnya. Mereka ini berpotensi menjadi hidden carrier, karena bisa saja mereka terinfeksi COVID-19 (lokal pada hidung).

Hasilnya diteruskan dengan Tes PCR. Rapid Test harus digunakan secara bersama-sama untuk melacak kemungkinan kasus secara wilayah atau epidemiologis. Gunakan rapid test dalam “kacamata” epidemiologis, bukan sekedar individu.

4. Menyediakan Rumah Sakit Khusus COVID-19 dengan segala fasilitasnya, agar bisa fokus dalam melambatkan penularan COVID-19 yang masif tanpa membahayakan pasien non COVID-19. Diantaranya dari rumah sakit yang sudah ada, yaitu RS Bali Mandara, RS Udayana, RS Graha Asih, dan RS Dharma Yadnya.

Agar dilakukan pemisahan antara pasien WNI dan WNA yang positif COVID-19 yang mana biaya perawatan WNA ditanggung penuh oleh pemerintahnya masing-masing melalui kedutaan dan kosulatnya.

5. Melakukan “Proses Karantina” bagi pekerja kapal pesiar dan TKI jenis lainnya, selama 14-28 hari. Kami mohonkan pembiayaannya dari negara, mengingat mereka adalah pahlawan devisa bagi negara.

Baca juga:  Beachclub dan Resort di Suana Diminta Lengkapi Izin

6. Pemenuhan kebutuhan pokok bagi masyarakat beserta pengontrolan proses distribusinya bagi masyarakat yang paling terdampak COVID-19, sesuai amanat UUD 1945 pasal 34.

7. Pemenuhan Sarana dan Prasarana untuk tenaga kesehatan secara memadai sesuai protap WHO bagi COVID-19 dan dalam jumlah yang cukup. Agar diperhatikan juga kesejahteraan tenaga kesehatan hingga tingkat puskesmas, di mana upaya pencegahan dan pelacakan pada komunitas, dilakukan.

8. Mengusahakan penutupan pintu masuk ke Bali. Jika belum memungkinkan karena harus menunggu intruksi dari pemerintah pusat, maka pada pintu masuk ke Bali harus disediakan alat Rapid Test COVID-19. Dan jika hasilnya positif, jika WNA agar langsung di deportasi.

9. Pelibatan secara aktif aparat keamanan, baik polisi maupun TNI untuk menjaga kelangsungan Social Distancing. Jika masih ada yang melanggar, harus dikenai sanksi, baik sanksi pidana maupun adat.

10. Sosialisasi secara masif melalui media-media mainstream, termasuk dengan memanfaatkan media sosial, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai dampak dari COVID-19.

11. Disinfeksi secara berkala semua tempat keramaian, seperti pasar, terminal, pusat perbelanjaan, tempat suci, dll.

12. Menggalang gotong royong dengan seluruh krematorium yang ada di Bali untuk perabuan shava -jenazah- (kremasi) bagi mereka korban COVID-19 sesegera mungkin (kurang dari 24 jam), sekaligus bagi masyarakat yang ada kematian bukan karena COVID-19 tetapi tidak bisa mengadakan upakara resmi karena tidak boleh ada keramaian.

Agar aturan perabuan shava ini tidak didasarkan pada keyakinan, tetapi pada dasar ilmiah (virus masih aktif pada paru-paru pasien yang meninggal), efektifitas, dan efisiensi selama berlangsungnya pandemi ini. Kremasi bertujuan untuk memutus mata rantai penularan virus.

BAGIKAN