DENPASAR, BALIPOST.com – Paket stimulus AS sebesar 2,2 triliun dolar diprediksi akan memberikan harapan baru bagi negara-negara berkembang sebagai emerging market. Senat AS telah menyetujui stimulus fiskal sebesar 2,2 triliun dolar yang dialokasikan sebesar 100 miliar dolar untuk kesehatan, 350 miliar dolar untuk UMKM, 250 miliar dolar untuk tenaga kerja serta 500 miliar dolar untuk dunia usaha dan bantuan sosial.
Dari sisi moneter, The Fed telah menurunkan suku bunga kebijakan (Fed Fund Rate) mendekati 0 persen, menambah injeksi likuiditas untuk pasar uang dan melakukan pembelian surat berharga. Searah dengan itu, ECB melakukan injeksi likuditas dan relaksasi kebijakan.
Hal tersebut telah meredakan kepanikan di pasar global, sehingga indikator-indikator keuangan termasuk saham global mengalami peningkatan dalam merespons kebijakan-kebijakan tersebut. Menurut Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Udayana Agoes Ganesha Rahyuda, Sabtu (28/3), kebijakan fiskal AS ini akan meningkatkan demand. Namun demand tersebut diharapkan datang dari foreign market. “Artinya terjadi impor barang oleh AS dari negara berkembang,” ujarnya.
Jika itu terjadi, Pemerintah RI dapat merespons dengan memperkuat kondisi ekspornya. Upaya ini senada dengan respons RI di G-20 untuk bersama-sama memperkuat kondisi perdagangan dunia.
Melihat pelemahan ekonomi global, ia pun memproyeksikan ekonomi akan semakin memburuk jika trend eksponensial PDP covid-19 terus meningkat. “Ya, kita sudah memasuki resesi,” ujarnya.
Di balik ancaman resesi ini, kebijakan fiskal yang diambil AS merupakan momentum bagi negara emerging market menguatkan sektor riilnya terutama ekspor. Setidaknya yang terlihat saat ini ada perubahan di dua pasar yaitu pasar uang (rupiah menguat) dan pasar saham (IHSG menguat). “Bukan hanya stimulus tersebut, G-20 juga sudah bergerak untuk segera recovery agar jangan sampai resesi ini ujungnya malah menjadi depresi ekonomi,” tegasnya. (Citta Maya/balipost)