DENPASAR, BALIPOST.com – Pemprov Bali telah mengeluarkan surat edaran (SE) memperpanjang kerja dan belajar dari rumah, serta penutupan objek wisata guna memutus rantai penyebaran COVID-19 yang semakin masif. Dengan adanya perpanjangan itu, tentu banyak warga yang ekonominya menengah ke bawah, seperti pedagang kaki lima, pedagang asongan, pedagang warung-warung kecil, tidak bisa berjualan.
Karena perpanjangan ini, mereka tidak ada pemasukan lagi. Hal ini dikhawatirkan menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial, pangan, dan ekonomi warga menurun.
Dampak itu dikhawatirkan akan meluas menjadi tindakan kriminalitas. Sementara, pemerintah tidak pernah membahas dampak dari perpanjangan itu.
Pemerintah daerah hanya memikirkan cara pencegahan COVID-19, tanpa memikirkan dampak sosial akibat perpanjangan penutupan objek wisata dan pembatasan kegiatan masyarakat. Guru Besar FEB Unud Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, MP., Kamis (2/4), menilai, SE yang dikeluarkan Pemprov Bali tentang memperpanjang kerja dan belajar dari rumah, serta penutupan objek wisata sudah terasa dampaknya bagi kelompok-kelompok tertentu. Pertama, bagi pekerja yang pendapatannya harian, seperti sektor informal akan merasakan pengaruhnya.
Hilangnya sumber pemasukan mereka berdampak pada menurunnya daya beli. Secara makro, konsumsi masyarakat yang menurun implikasi pada terganggunya pertumbuhan ekonomi.
Daya beli yang menurun diimbangi dengan distribusi barang dan jasa mengalami hambatan, maka praktis harga-harga akan naik. Di satu pihak, daya beli menurun, di pihak lain harga-harga naik.
Maka dari itu, akan terjadi penurunan kesejahteraan sekaligus diikuti oleh penurunan penghasilan akibat penurunan jam kerja dan mobilitas tenaga kerja yang dibatasi. Dampak tidak juga langsung dirasakan oleh mereka yang aktivitasnya sebagai pendukung aktivitas pariwisata, seperti sektor pertanian yang menyuplai kebutuhan hotel dan restoran, sektor industri sebagai penghasil produk yang dibutuhkan wisatawan.
Sebelum para pelaku usaha ini rontok sebagai pelaku ekonomi, harus ada terobosan-terobosan yang mampu menyelamatkan usaha mereka. Tidak cukup hanya dengan membebaskan biaya listrik atau menunda biaya cicilan, namun ada beberapa periode yang lebih kongkrit yang harus dilakukan pemerintah.
Di antaranya, memberikan bantuan tunai langsung yang bersifat mendesak, memutihkan pinjaman-pinjaman jangka pendek yang mestinya di-back up pemerintah, membebaskan pembayaran untuk utilitas umum, seperti air, listrik, gas dan mempermudah mendapatkan kebutuhan pokok dengan harga yang rendah. Di samping itu, juga memperbanyak kuantitas dan kualitas subsidi, serta menghapuskan pajak yang dikenakan kepada masyarakat dalam periode yang signifikan.
“Yang terakhir mungkin mengadakan perubahan terhadap realokasi anggaran dengan memproporsikan pada hal-hal yang benar-benar dianggap urgent. Dan sebagai wujud kebersamaan, memindahkan penghasilan dari kelompok penghasilan tinggi kepada kelompok masyarakat yang penghasilannya terancam. Sudah pasti semua dalam tatanan transparansi dan akuntabilas nyata,” jelasnya. (Winatha/balipost)