Prof. Sucipta. (BP/Istimewa)

Oleh : I Nyoman Sucipta

Tenaga medis saat ini menjadi garda terdepan untuk menangani kasus persebaran virus Corona atau COVID-19. Banyak sudah tenaga medis di Indonesia yang menjadi korban karena virus ini karena minimnya alat pelindung diri membuat mereka rentan terpapar wabah ini.

Kisah mereka meninggalkan nestapa bagi bangsa Indonesia. Hal ini dicarikan solusinya untuk mencegah berkurangnya tenaga medis yang nantinya berdampak pada terhentinya pelayanan penanganan kepada pasien serta dapat menularkan kepada pasien. Salah satu dengan dokter robot.

Di Amerika Serikat, robot bisa memberikan perawatan inap di rumah sakit. Robot ini nantinya tak hanya akan menggantikan dokter dan perawat saja. Food and Drug Administration (FDA) telah memberikan lampu hijau untuk mesin Remote Presence Virtual + Independent Telemedicine Assistant (RP-VITA) sebagai navigasi otonom. Dalam upaya kolaboratif, RP-VITA menggabungkan navigasi inovatif  Robot dan teknologi mobilitas dengan telemedcine kesehatan canggih dan integrasi catatan kesehatan elektroning.

Robot ini memungkinkan dokter untuk berkonsultasi dengan pasien dan staf rumah sakit dari jarak jauh. Selain itu, juga dapat menyediakan akses ke catatan medis yang semuanya dilakukan dengan komunikasi antarmuka melalui HP android. Sensor canggih yang dimiliki robot ini memungkinkan RP-VITA bekerja cepat dan aman untuk menavigasi ruang rumah sakit yang ramai tanpa menabrak orang, benda atau dinding.

Baca juga:  PIN Khusus Masuk Ibu Kota 

Tidak seperti daVinci si Surgical System, RP-VITA tidak bisa untuk membantu operasi. FDA hanya menetapkan tugas RP-VITA adalah memantau pasien aktif dalam pengaturan pra operasi maupun pascabedah termasuk kardiovaskular, syaraf, penilaian perawatan prenatal dan pemeriksaan.

Para peneliti dari universitas di China telah merancang robot yang dapat digunakan untuk membantu tenaga medis. Robot ini dirancang untuk menangani para pasien selama wabah virus Corona.

Robot ini dapat mengambil usapan mulut dan mendengarkan suara yang berasal oleh organ pasien, biasanya dilakukan dengan stetoskop. Bahkan, robot ini dilengkapi kamera sehingga tenaga medis tidak perlu berada di ruangan pasien secara langsung guna untuk mencegah penularan.

Perancang robot ini, Prof. Zheng Gangtie, dari Universitas Tsinghua mengatakan, masalah terbesar saat ini untuk para tenaga medis yang berjuang merawat pasien adalah sangat mudah terinfeksi. Para dokter sangat berani, meskipun virus ini sangat mudah menular.

Baca juga:  Kelelahan Fisik Akibat WFH, Dampak Ikutan Pandemi COVID-19

Dengan robot ini, kita bisa menggunakannya bahkan untuk tugas yang paling berbahaya sekalipun,’’ ujar Prof Zheng. Saat ini, Zheng dan timnya sudah memiliki dua robot yang telah diuji coba oleh para dokter di rumah sakit di Beijing. Satu di antaranya masih berada di laboratorium universitas, dan satu lainnya sudah siap di Rumah Sakit Union Wuhan.

Implementasi artificial intelligence (AI) di dunia kesehatan, salah satunya menciptakan aplikasi konsultasi kesehatan. ADA Health, sebuah platform asal Inggris telah sepenuhnya dijalankan oleh robot. Artinya, tidak ada lagi peran seorang dokter dalam menjawab pertanyaan pasien. Apakah AI dalam hal ini benar-benar telah menggantikan fungsi dokter.

Jonathan Sudharta, CEO Halodoc, mengatakan dalam kesehatan ada filosofi penting, yakni human touch dan fully robot. Dalam hal ini, Jonathan mengaku lebih percaya bahwa kesehatan masih butuh sentuhan manusia. Memang dalam aplikasi Halodoc konsultasi dilakukan melalui platform, tetapi benar-benar ditangani oleh dokter.

Robot hanya menanyakan hal-hal yang sudah di-input sebagai data, tetapi manusia memiliki empati untuk menanyakan variabel-variabel lain. ‘’Bagian empati itu yang tidak bisa digantikan,’’ ujar Jonathan.

Baca juga:  Tahura sebagai Pariwisata Berbasis Alam

Jonathan mencontohkan, seorang pasien yang mengalami flu atau batuk ketika berkonsultasi dengan AI hanya akan ditanyakan tentang gejala-gejala yang dialami, kemudian akan diberikan obat yang sesuai. Namun, ketika berkonsultasi dengan dokter, akan ditanyakan pula kronologi sebelum seseorang terkena penyakit yang dialami sehingga diagnosis yang dilakukan lebih tepat.

Penggunaan AI di Halodoc sendiri, lanjut Jonathan, untuk menjaga kualitas konsultasi yang terjadi antara pasien dan dokter. Dengan AI, platform Halodoc akan mengetahui apakah pertanyaan dokter cukup dalam atau tidak, benar atau salah, secara etika sopan atau tidak, dan jawabannya nyambung atau tidak. Dengan demikian, AI akan meningkatkan kualitas dari konsultasi.

Jika semua pakar kesehatan menerapkan filosofi human touch, perkembangan AI tidak akan bisa menggantikan peran seorang dokter. Namun, penggunaan AI akan membuat dokter dan praktisi kesehatan dapat melakukan pekerjaannya dengan lebih efektif dan efisien.

Penulis, Guru Besar Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Unud, Dosen Pengampu Mata Kuliah Robotik Pertanian

BAGIKAN