DENPASAR, BALIPOST.com – Wacana melakukan nyipeng (nyepi adat) untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19 di Bali viral di media sosial dan perpesanan instan masyarakat Bali. Bahkan terjadi pro dan kontra terkait wacana ini.
Direncanakan, pelaksanaan nyepi yang berlangsung selama 3 hari, yaitu 18-20 April 2020, dan Ngembak pada 21 April 2020. Rencana “Nyipeng” yang diusulkan oleh Majelis Desa Adat dan PHDI Bali akan difinalisasi melalui Paruman PHDI Bali pada Rabu (8/4) besok.
Meskipun rencana nyipeng ini hanya akan menerapkan monobrata, yaitu Amati Lelungan (tidak boleh berpergian), namun telah tersebar di tengah masyarakat Bali, bahkan menjadi perdebatan. Secara sekala dan niskala, Bali Nyipeng untuk mempercepat memutus rantai penyebaran virus corona di Bali.
Sebab, secara niskala sangat berkaitan dengan menghormati bhuta kala sebelum Tilem Kedasa (22 April 2020), yang disertai dengan upacara bhuta yadnya berskala kecil.
Kendati demikian, Sulinggih Ida Pandita Mpu Siwa Budha Daksa Darmita dari Geria Agung Sukawati, mengatakan bahwa kegiatan yang berhubungan dengan hari suci agama harus ada acuannya. Sedangkan, Nyipeng belum ada dalam sastra agama atau sumbernya.
Sehingga, jika dilaksanakan tanpa berdasarkan sumber, akan berdampak secara sekala maupun niskala. “Kalau misalnya, himbauan itu (Nyipeng-red) dibuat jika dihubungkan dengan COVID-19, jangan dikaitkan dengn nyepi, cukup himbauannya 3 hari karantina wilayah,” tegas Ida Pandita Darmita, Selasa (7/4).
Apabila rencana Bali “Nyipeng” dijalankan, harus dipikirkan dampak sosial dan ekonomi masyarakat Bali. Apalagi, menurutnya sejauh ini krama Bali sudah cukup taat dan menuruti instruksi pemerintah guna meminimalisir penyebaran COVID-19 di Bali. “Ini yang aneh, orang Bali super ketat justru non-Bali masih leluasa berseliweran di Bali. Sudah cukup merasakan pahit getirnya mengenai pandemi ini. Niscaya badai ini cepat berlalu dan jangan lupa beryadnya sesuai dengan ucap sastra Veda dan Vedanta,” ujarnya. (Winatha/balipost)