DENPASAR, BALIPOST.com – Taman Budaya Bali, tempat Festival Seni Bali Jani (FSBJ) II 2020, #Bali Arts Virtual digelar, menerapkan protokol kesehatan (prokes) Covid-19 yang cukup ketat pula. Kawasan pintu masuk Taman Budaya Bali, Art Center Denpasar, dilengkapi tempat cuci tangan.
Demikian juga di kanan-kiri gerbang Gedung Ksirarnawa, juga disediakan tempat cuci tangan. Selama kegiatan, para peserta dan pengunjung FSBJ disiplin menerapkan prokes, memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak (3 M) guna memutus rantai penyebaran Covid-19.
Hal itu tampak dalam kegiatan Timbang Buku dalam rangka FSBJ II 2020 bertema ‘’Candika Jiwa, Puitika Atma Kerthi’’ di lantai bawah Gedung Ksirarnawa, Jumat (6/11). Timbang buku ini salah satu mata acara festival yang berlangsung 31 Oktober hingga 7 November 2020.
Kegiatan itu menghadirkan dua narasumber. Yakni Dr. I Kadek Suartaya, dosen ISI Denpasar yang menulis buku ‘’Bali Nyala Api Seni’’ dan Made Adnyana, penulis buku ‘’Kene Keto Musik Pop Bali’’, dipandu Kadek Wahyudita.
Dalam kegiatan itu, kedua narasumber menceritakan proses kreatifnya dalam menyusun buku yang sama-sama berawal dari kegemarannya membaca dan menulis.
Kadek Suartaya mengatakan, kemampuannya menulis tak lepas dari kegemaran membaca, dan mengamati seni pertunjukan.
Penulis artikel seni di media massa ini mengaku mendapat banyak ide atau inspirasi dari menonton pagelaran seni. Bahkan, ketika berlangsung Pesta Kesenian Bali (PKB), banyak pementasan diulas dalam tulisan, karena ia intens menyaksikan pagelaran dalam hajatan seni tahunan tersebut.
Boleh dikata, ia seorang ‘’kutu’’ PKB sejak tahun 1981. Tulisan-tulisannya itu kemudian dibukukan dalam ‘’Bali Nyala Api Seni’’, yang merupakan buku kelima Kadek Suartaya. ‘’Ada dua hal yang menginspirasi dalam menulis artikel, yaitu peristiwa kesenian dan fenomena yang sedang hangat terjadi,’’ ujar narator sendratari kolosal ISI Denpasar ini.
Dikaitkan dengan pandemi, ada sejumlah tulisan Kadek Suartaya yang menyinggung hal itu dalam buku tersebut, yakni Tari Sanghyang dan Ngelawang. Tarian sakral itu dipentaskan, sesungguhnya secara niskala untuk menanggulangi malapetaka atau wabah penyakit. Semacam terapi agar masyarakat selalu tenang menghadapi wabah.
Sementara itu Made Adnyana mengatakan, buku yang dilahirkan ini terinspirasi dari kegemarannya pada musik sejak kecil. Memiliki latar belakang jurnalis, ia menulis apa yang menarik di balik fenomena. Jadi, tak sekadar memberitakan peristiwa atau fenomena.
(Subrata/balipost)