DENPASAR, BALIPOST.com – Gubernur Bali Wayan Koster menerima kunjungan kerja Komisi II DPR RI di Ruang Wisma Sabha Utama Kantor Gubernur Bali, Senin (11/10). Kesempatan bertemu jajaran Komisi II DPR RI dimanfaatkan menyuarakan aspirasi agar RUU Provinsi Bali bisa dibahas secepatnya dan segera dapat disahkan menjadi undang-undang.
Gubernur Koster berpendapat, payung hukum baru sangat urgen bagi Provinsi Bali karena saat ini pembentukan Bali masih diatur dalam satu peraturan perundang-undangan, yaitu UU Nomor 64 Tahun 1958, bersama-sama dengan dua provinsi tetangga, yakni Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Produk hukum ini, kata Gubernur Koster, masih mengacu pada konsideran Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950) dalam bentuk Negara Indonesia Serikat (RIS).
“Mengacu pada UU itu, Bali masih masuk dalam wilayah Sunda Kecil dan ibu kotanya adalah Singaraja. Setiap produk hukum yang kami susun, harus merujuk pada UU itu. Jadi rasanya tanpa makna, secara esensi juga bertentangan,” ujar Gubernur Koster.
Apabila dikaitkan dengan prinsip ketatanegaraan, menurut Gubernur Koster sangat tidak baik jika hal ini dibiarkan terlalu lama. Syukurnya, tiga provinsi yang terikat dalam satu produk hukum ini tidak ada yang ‘aneh-aneh’, sehingga sejauh ini belum menimbulkan persoalan. “Kalau ada yang ‘nakal’, ini bisa jadi ruang munculnya sparatisme baru dengan memanfaatkan kesempatan karena lemahnya perundang-undangan. Ruang ini yang harus kita tutup agar tidak ada celah,” tandas Gubernur asal Desa Sembiran, Buleleng ini.
Terkait dengan rancangan RUU yang telah diajukan, mantan anggota DPR RI tiga periode ini sangat terbuka dan menyerahkan sepenuhnya pembahasan di tangan DPR RI. Pada kesempatan itu, ia kembali meyakinkan kalau RUU ini sama sekali tak mengundang kepentingan Bali meminta kekhususan. Semangat yang tertuang dalam RUU ini adalah bagaimana menjaga kearifan lokal Bali dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki dalam bingkai NKRI, Pancasila dan UUD 1945. “Intinya, kami ingin Bali dibangun sesuai potensi. Sama sekali tak meminta kekhususan. Dengan UU ini, Bali akan bisa di-empowerment sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki,” tegasnya.
Pada kesempatan ini, Ketua DPD PDI Perjungan Provinsi Bali menyinggung sejumlah regulasi yang menerjemahkan NKRI dalam keseragaman. Banyak regulasi yang didasari pada semangat NKRI harus sama, padahal potensi tiap daerah berbeda-beda. Ada yang menonjol dalam potensi laut, darat atau budaya. Akibat semangat penyeragaman itu, sejumlah payung hukum terkesan dipaksakan untuk diterapkan di daerah. Ia lantas mencontohkan regulasi yang mengatur tentang keberadaan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang belum tentu sesuai untuk semua daerah. “Kalau di Bali contohnya adalah OPD yang membidangi Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), padahal kita tak punya sumber daya mineral seperti minyak, tapi karena aturannya begitu, OPD tersebut harus ada,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, Gubernur minta kepada para wakil rakyat yang duduk di Komisi II mencermati seluruh regulasi dan penerapannya di daerah. Ia berpendapat, otonomi asimetris adalah pilihan yang tepat diterapkan karena Indonesia memiliki daerah dengan beragam potensi.
Selanjutnya, Gubernur Koster juga memberi penjelasan terkait sejumlah materi yang menjadi fokus dalam Kunker Komisi II yaitu penyelenggaraan pemerintah daerah dan reformasi birokrasi, seleksi CPNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Tahun 2021, evaluasi Pilkada serentak 9 Desember 2020 dan masukan terhadap Pilkada serentak tahun 2024.
Terkait dengan reformasi birokrasi, Gubernur Koster menyampaikan bahwa selama masa kepemimpinannya ia telah melakukan dua tahap penyederhanaan birokrasi sehingga jumlah OPD yang tadinya sebanyak 49, saat ini tersisa 38. Pengurangan jumlah OPD ini dimaksudkan untuk mewujudkan birokrasi yang efektif, efisiensi dan akuntabel.
Masih terkait dengan reformasi birokrasi, Pemprov Bali menerapkan sistem merit dalam promosi dan mutasi pegawai. Selain itu, Pemprov juga telah melakukan digitalisasi mulai perencanaan hingga pemberian layanan kepada masyarakat. Segala terobosan yang dilakukan jajarannya membuahkan sejumlah capaian yaitu opini WTP delapan kali berturut-turut dan nilai MCP pencegahan korupsi paling tinggi yaitu 85 persen. Capaian MCP ini menempatkan Bali pada peringkat pertama dalam strategi nasional pencegahan korupsi. Berikutnya terkait rekrutmen CPNS dan PPPK Tahun 2021, ia menyampaikan bahwa prosesnya saat ini masih berjalan. “Untuk pelaksanaan Pilkada serentak 2020, telah berjalan sangat lancar dan aman. Sedangkan untuk Pikkada serentak 2024, saya sepenuhnya ikut kebijakan pusat dan KPU,” katanya, menjelaskan.
Menanggapi permohonan Gubernur Koster terkait pembahasan RUU Provinsi Bali, Ketua Komisi II DPR RI, Dr. H. Ahmad Doli Kurnia Tandjung yang juga selaku pimpinan rombongan menyampaikan bahwa perubahan UU itu memang sangat penting. Tidak hanya Bali yang mengajukan perubahan UU, namun belakangan ini ada 20 provinsi yang mengajukan perubahan UU. Menurutnya, di antara sekian banyak RUU yang diusulkan, RUU Provinsi Bali paling menyita perhatian karena memunculkan tentang kekhasan daerah. Agar pembahasannya berjalan lancar dan tak berkepanjangan, pihaknya sudah memberi batasan ‘kekhasan’ bukan ‘kekhususan’ pada RUU Provinsi Bali. “Bali ini yang isunya paling mengemuka. Kalau yang lain hanya perubahan nomenklatur dari UUDS RIS ke UUD 1945,” ujarnya.
Sependapat dengan Gubernur Koster, Doli menyebut tidak baik kalau produk hukum yang konsiderannya masih UUDS di era RIS tidak segera diubah. Selain bisa membuka celah munculnya sparatisme, UU lawas itu bisa menjadi masalah ketika satu daerah menjalin kerja sama dengan negara luar. Secara bertahap, RUU yang diajukan sejumlah provinsi itu akan dibahas sesuai tahapan. Ia pun menjanjikan, RUU Provinsi Bali bisa mulai dibahas awal tahun 2022. (kmb)