DENPASAR, BALIPOST.com – Di tengah umat Hindu yang sedang merayakan hari suci Tumpek Uduh atau Tumpek Pengatag, Sabtu (16/10), Bali diguncang gempa sebanyak 4 kali. Tiga di antaranya berada di lokasi sama, yakni Karangasem, dengan magnitudo 4,8, kemudian 3,8, dan 2,7.
Sedangkan satu lagi berlokasi di perairan dekat wilayah Buleleng dengan magnitudo 4,3. Gempa di Karangasem yang pusatnya di daratan merenggut 3 korban jiwa, sejumlah warga luka-luka, dan bangunan mengalami kerusakan.
Menurut Sulinggih Ida Pandita Mpu Siwa Budha Daksa Darmita dari Griya Agung Sukawati, gempa yang terjadi pada sasih Kalima, Saniscara Kliwon bertepatan dengan hari suci Tumpek Uduh “Tumpek Pengatag” memberi makna filosofis. Umat Hindu, khususnya di Bali, diatag atau diberitahu untuk melaksanakan kewaspadaan. Sebab, ke depannya kemungkinan ada ancaman dan gangguan yang serius.
Secara metafisik, dikatakan, bahwa pustaka Hindu, Palalindon, yang sudah teruji kebenaran dari masa ke masa, menyebutkan gangguan dan “pakibeh jagat” atau serba kesusahan.
“Sasab mrana megalak (penyakit sawah sangat ganas menyerang, makweh sarwa tinandur rusak (tanaman sawah hasil panennya tidak maksimal), sarang ikang bhumi (jagat dan seisinya kesakitan) eweh ikang nagara (suatu daerah menemui kendala/kesulitan), rug ikang rat (jagat bisa hancur), kirang makerthi (kurang berbuat baik/kurang pengorbanan), laraning wong mati (orang meninggal tidak ada henti-hentinya), Kala Banaspati Raja, Butha Kali Kalika mangrusit (energi negatif sangat aktif bertebaran), akeh wong kapegatan sih (ada saja perselisihan), upas wisya megalak (penyakit “bakteri” sebarannya sangat dahsyat), wong akeh keni baya (banyak orang kena musibah), muntah mising (penyakit muntaber), lara malaris (timbul kesengsaraan), pamigraha nira (atas petunjuk Sanghyang Siwa Geni), eweh sang angawa Bhumi (menemui kesulitan bagi pemegang Jagat/Daerah/Pemerintahan).”
“Jadi, inti permasalahan yang dihadapkan kedepannya adalah bukan perkara mudah, namun penuh gejolak dan ‘kemewehan‘ (kesusahan, red),” katanya mengingatkan.
Ia menyebutkan bahwa umat Hindu diberitahu oleh ‘pustaka gempa’ untuk melakukan antisipasi dengan yadnya sesuai dengan dresta di Bali. Wajib dengan sarana persembahyangan walaupun kecil agar diberi kerahayuan. “Sarana kecilpun jika dipersembahan dengan etika keadilan dan ketulus-ikhlasan akan diterima,” ujar Ida Pandita.
Lebih lanjut dikatakan, waktu yang tepat untuk melaksanakan upacara yadnya ini sebaiknya di sore hari menjelang malam. Hal itu sesuai petunjuk Kitab Suci Weda, wahyu Sang Hyang Widhi Wasa. (Winatha/balipost)