I Gusti Ketut Widana. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Tumpek yang satu ini memiliki banyak nama dan pemaknaan. Disebut Tumpek Wariga, karena peringatannya jatuh pada perhitungan pawukon atau wuku Wariga.

Sering juga dikatakan sebagai Tumpek Uduh (= wahai), lantaran dalam doanya (sehe) ada ucapan memanggil-manggil tertuju kepada “Kaki” (Kakek): Kaki-Kaki, i dadong dija? Dadong jumah gelem kebus dingin ngetor. Ngetor nged, nged, nged, nged, buin selae lemeng Galungan, mabuah apang nged.

Sebutan lainnya adalah Tumpek Pangatag atau Tumpek Pangarah, yang mengandung makna mengundang (ngatag) sekaligus memberitahukan (ngarahin) perihal akan datangnya hari suci besar (rainan gede) Galungan dalam hitungan 25 hari ke depan. Bahwa kemudian lebih lumrah disebut Tumpek
Bubuh, oleh karena salah satu piranti khusus
yang digunakan berupa bubur (Bhs Bali: bubuh).

Secara filosofis, makna Tumpek Bubuh yang
menggunakan sarana bubur ini mengandung doa pengharapan agar bumi tempat berkehidupan ini menjadi subur, dan para penghuninya hidup makmur, tidak lebur apalagi hancur. Lebih jauh lagi, ucapan “bubur” secara fonetik juga disepadankan dengan kata “bhubhur”. Merupakan gabungan kata ‘Bhu’ dan ‘Bhur’ yang artinya sama yaitu alam atau bumi.

Baca juga:  Menjawab Tantangan Zonasi Pendidikan

Sehingga kata “bhubhur” mengandung makna simbolik filosofis harmonisasi alam. Amanatnya adalah, di antara segenap makhluk penghuni ekosistem alam (bumi), satu sama lain wajib saling menjaga, merawat, memelihara untuk saling menghidupi dalam gerak keseimbangan (equilibrium).
Sudahkah demikian pemaknaan dalam pengamalan?

Ibarat pepatah, tampaknya masih “jauh panggang dari api”. Arti dan kenyataannya, tidak atau lebih halus lagi belum sejalan antara konsep ritual simbolik dengan konteks habitual behavioristik. Singkatnya, pemaknaan Tumpek Bubuh, masih “gebuh” (bagus) dan “lemuh” (enak didengar) dalam wacana, tetapi
rapuh bahkan runtuh pada laksana.

Hanya dengan ritual Tumpek Bubuh berharap gumi gemuh bin landuh (subur-makmur) tanpa patuh pada sesuluh (petunjuk), tidaklah elah-aluh (mudah-gampang). Diperlukan kesadaran psikokosmik, bahwa sejatinya alam (bhuwana agung) dan manusia (bhuwana alit) adalah satu jiwa, berasal dari Atman yang sama-sama bersumber dari Brahman — Sang Pencipta seru sekalian alam.

Baca juga:  Bali Perlu "Backpackers"

Manusia sebagai makhluk sempurna (dilengkapi idep, selain bayu dan sabda), dengan posisi tertinggi
pada hierarki ciptaan Tuhan, adalah paling bertanggung jawab dalam “mengelola” segenap unsur alam beserta seluruh sumber daya hayatinya. Sehingga satu sama lain bisa saling “ubuh” (merawat dan memelihara) demi keberlangsungan hidup dan kehidupan segenap makhluk secara utuh.

Persoalannya, dengan anugerah kelebihan “idep” manusia acapkali berubah karakter, bukannya saling “ubuh”, justru terobsesi “menguasai” alam. Sehingga tampak dalam sikap dan perilakunya menjadikan alam sebagai “musuh”, untuk dikuasai atau ditaklukkan dengan berbagai cara seperti eksplorasi dan eksploitasi tanpa batas, demi peruntungan materi bertendensi materi duniawi, meski berujung disharmoni.

Betapapun aktivitas ritual itu, sekalipun bernilai luhur, tetaplah sebagai sebuah ekspresi emosi keagamaan yang hanya terbukti manjur jika telah terimplementasi dalam kerja nyata: alam subur umatpun makmur. Semisal saja, di tengah kondisi pandemi seperti sekarang ini, melalui Sastra Dresta sudah disuratkan dalam lontar Anda Kacacar (terjemahan hal. 1b): bahwa pada saat berjangkit wabah penyakit cacar (termasuk Covid-19 tentunya), Jangan melaksanakan salwirning walikram (segala macam pujawali), tidak
juga melakukan pemujaan dengan weda-mantra
di pura-pura, sampai kemudian pulih datang
wuku Dungulan (perayaan Galungan),…”.

Baca juga:  Mengawal Anggaran Pilkada

Kaitanya dengan Tumpek Bubuh, ada semacam pembenaran sikap untuk menahan diri, lalu mencoba mengurangi bahkan dengan ikhlas menunda praktik ritual keagamaan, terutama tingkatan madya atau utama, tidak lagi seperti dalam keadaan normal sebelumnya. Kepatuhan seperti ini, setidaknya menjadi langkah cerdas dan bernas untuk turut menjaga harmonisasi alam, setidaknya memberi ruang dan waktu bagi seisi alam dengan beragam sumber daya hayati menghela nafas lantaran selama ini terus dirabas, ditebas, diperas, bahkan dikuras untuk kewajiban memenuhi kuantitas ritual yadnya
yang belum tentu berkualitas.

Penulis, Dosen UNHI dan Alumni Pascasarjana UHN IGB Sugriwa Denpasar

BAGIKAN