MANGUPURA, BALIPOST.com – Gempabumi berkekuatan M 4,8 terjadi pada Sabtu (16/10). Episenternya terletak pada koordinat 8,32° LS; 115,45° BT, atau tepatnya berlokasi di darat pada jarak 8 km barat laut Karangasem, Bali pada kedalaman 10 km.
Meski magnitudonya di bawah 5, gempa yang terjadi di darat ini menimbulkan tanah longsor, kerusakan bangunan dan korban jiwa. Gempa dangkal dengan daya rusak yang besar ini, perlu diwaspadai terutama bagi penduduk yang berada di lereng bukit maupun pegunungan.
Gempa berpusat di Karangasem itu per 18 Oktober menyebabkan 3 korban meninggal, 9 luka berat, dan 74 luka ringan. Terdapat 19 orang mengungsi di wilayah Bangli.
Untuk kerusakan bangunan mencapai 1.131 orang. Diperkirakan kerugian material karena gempa ini mencapai 1.808.700.000 rupiah.
Menurut dosen pengampu mata kuliah Geomorfologi di Fakultas Pertanian Unud, Drs. R Suyarto, M.Si., gempa dangkal memiliki daya rusak besar karena dekat dengan permukaan. Potensi kerusakan yang diakibatkan, juga tergantung pada jenis gerak sesar, jenis material atau litologi sebagai tempat rambat gelombang gempa sampai permukaan dan kondisi bentuk lahan di permukaan.
“Sebagai contoh material yang kompak atau consolidated kuat, maka akan mereduksi tenaga gempa itu sendiri. Sebaliknya material lepas atau unconsolidated secara geomorfologi, tentu akan memperbesar energi yang terjadi akibat adanya dinamika keseimbangan baru dari batuan sehingga daya rusak akan lebih dirasakan di permukaan,” kata Suyarto saat dikonfirmasi, Senin (18/10).
Lebih lanjut dikatakannya, gempa yang terjadi dengan magnitudo 4,8 ini akan lebih dirasakan energinya, apabila itu terjadi pada bentuk lahan dengan karakteristik lereng yang miring dan terjal, proses sedimentasi koluvial dan material yang lepas atau unconsolidated. Jika melihat lokasi gempa yang terjadi pada Sabtu lalu, menurutnya, banyak didominasi oleh bentuk lahan lereng gunungapi dengan ciri perbukitan dan pegunungan relief kasar dengan material piroklastik yang tidak terlalu memadat.
Sehingga, gempa dangkal yang berpusat di Karangasem tersebut, memicu terjadinya ketidakstabilan lereng dan longsor. Sesuai dengan keterangan dari BMKG bahwa gempa yang diakibatkan sesar aktif lokal ini, tentu diikuti oleh proses keseimbangan pada setiap lapisan litologi yang terdampak. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya gempa-gempa susulan yang kecil.
Pihaknya menyampaikan, kalau langkah adaptasi yang bisa dilakukan adalah memperhatikan bukit-bukit curam dan tebing-tebing sungai yang curam apalagi dengan material lepas atau pasir kerikil. Perlu juga diwaspadai apabila terjadi gempa, wilayah ini sangat berpotensi untuk terjadi longsoran.
“Langkah mitigasi yang lain adalah memperhatikan bukit atau tebing yang jelas ada bidang perlapisannya atau beda litologi, kondisi ini bidang perlapisan akan menjadi bidang geser yang rawan gerakan longsor apabila ada pemicunya bisa berupa adanya energi gempa atau adanya aliran air atau non air. Tentu mitigasi adaptasi yang lain adalah berupa langkah penguatan alami tebing dengan langkah vegetatif dan pengurangan kemiringan lereng,” ucapnya. (Yudi Karnaedi/balipost)