Dokumentasi warga dan petugas kebencanaan melakukan evakuasi warga yang tertimbun longsor di Trunyan, Kintamani pada Sabtu (16/10). (BP/Istimewa)

BANGLI, BALIPOST.com – Warga di Desa Trunyan, Kintamani was-was dengan musim hujan yang akan datang. Warga khawatir material tanah dan bebatuan yang ada di bukit sekitar desa hanyut tergerus air dan menimpa permukiman ketika hujan melanda wilayah setempat.

Sebagaimana yang diungkapkan Ketut Jaksa, warga setempat. Dia mengaku sangat khawatir dengan datangnya musim hujan nanti. Pasalnya di bukit yang ada di desanya saat ini terdapat banyak material berupa tanah dan bebatuan yang rawan mengalami longsor. “Materialnya sangat banyak,” ungkapnya, Rabu (27/10).

Baca juga:  TPA Bengkala Kebakaran, Perlu 7 Jam Padamkan Kobaran Api

Dia mengatakan akibat gempa bumi yang terjadi Sabtu (16/10) lalu, ada sekitar enam titik longsor di Desa Terunyan. Jika hujan lebat melanda Trunyan, ia meyakini material longsor di enam titik tersebut akan hanyut menuju danau dan mengenai pemukiman penduduk serta pura desa tersebut.

Diperkirakan hujan lebat akan turun sekitar bulan November. “Jangankan batu-batu kecil, batu berdiameter dua meter saja bisa dibawa lari kalau hujan lebat terjadi,” ujarnya.

Baca juga:  Gunung Agung Naik ke Level Waspada

Supaya hujan yang akan datang tidak menimbulkan bencana, menurutnya, perlu dilakukan langkah antisipasi dari sekarang. Pihak desa perlu melakukan komunikasi dan koordinasi dengan aparat pemerintah di kabupaten. “Mungkin kalau ada komunikasi, nanti di jalur yang longsor itu dibuatkan saluran air. Memang sudah ada salurannya, namun yang saat ini saya lihat sudah menyempit dan tersumbat material dan sampah,” terangnya.

Di sisi lain, Mantan Sekdes Desa Trunyan itu mengungkapkan bahwa sejak beberapa hari terakhir, akses jalan dari Desa Buahan menuju Trunyan yang masih ditutup petugas mulai banyak diterobos warga. Warga menerobos jalan itu menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat.

Baca juga:  Bertambah, Maskapai yang Batalkan Penerbangan Akibat Aktivitas Gunung Agung

Menurutnya warga terpaksa melakukan itu karena mulai jenuh dan punya banyak kesibukan. Faktor lain warga nekat menerobos karena kesulitan mendapatkan transportasi di danau. “Fasilitas transprtasi di danau juga terbatas. Disamping itu kalau lewat danau warga juga harus mengeluarkan biaya lebih dibanding lewat darat. Sehingga terpaksa menerobos,” kata Jaksa. (Dayu Swasrina/balipost)

BAGIKAN