Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.
Kata literasi merujuk pada kata ‘literate’ yang berarti keaksaraan atau melek aksara. Pada mulanya literasi menekankan pada kemampuan baca tulis hitung yang dikenal dengan akronim Calistung yang merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki peserta didik anak-anak di sekolah dasar.
Dalam perkembangannya literasi mengacu pada berbagai kemampuan. Dalam literasi bahasa misalnya terdapat empat kemampuan yang harus dimiliki pembelajar yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis, yang menjadi dasar kemampuan berkomunikasi verbal dan tulisan.
Pada abad ke-21, Gerakan Literasi Nasional menegaskan bahwa masyarakat harus menguasai enam literasi dasar, yaitu (1) literasi baca tulis, (2) literasi numerasi, (3) literasi sains, (4) literasi digital, (5) literasi finasial, dan (6) literasi budaya dan kewargaan. Dapat dikatakan bahwa literasi baca tulis merupakan dasar dari semua literasi karena tanpa literasi tersebut, niscaya seseorang mampu memiliki literasi jenis lainnya.
Sementara itu, fakta membuktikan bahwa hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA) yang diadakan per 3 tahun, pada tahun 2018 dari 600 ribu siswa dari 79 negara yang berpartisipasi, Indonesia ada pada peringkat 72 dari 77 negara dalam kemampuan membaca. Kemampuan ini menurun dibandingkan dengan kemampuan 3 tahun sebelumnya (2015). Ini menandakan bahwa kemampuan membaca yang menjadi fondasi literasi dasar masih terkategori sangat rendah.
Dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang sangat pesat, mestinya kemampuan membaca semakin tinggi, namun apa daya TIK tidak digunakan dengan maksimal khususnya untuk kegiatan baca tulis. Pertanyaannya sekarang “Bagaimana membangun literasi sejak dini?” Kegiatan membaca menulis sesungguhnya bukanlah menjadi tugas lembaga formal di sekolah semata. Kegiatan literasi hendaknya dibangun dan dikembangkan sejak dari rumah melalui berbagai cara dan media (multimodal). Orangtua sebagai orang yang lebih tahu (knowledgable others) harus mampu menjadi contoh literasi tersebut. Misalnya bila ada media cetak di rumah (mis. Koran atau buku), maka orangtua bisa menjadi model membaca dan mengajak anak-anak membaca sejak kecil.
Semisal, mereka dibiasakan dibacakan cerita sebelum tidur, sehingga mereka akan merasa bila belum dibacakan cerita mereka tidak mau tidur. Ini sebuah hal kecil yang bermakna sangat besar dalam kehidupan seorang anak. Melalui visualisasi atau gambar-gambar pada buku cerita, orangtua dapat lebih mudah menjelaskan konteks dan karakter cerita dan anak-anak juga lebih mudah memahami isi. Media digital tersebut kaya dengan informasi yang mampu membangun literasi anak-anak. Tugas orangtua ataupun guru di sekolah adalah membimbing dan mengarahkan anak-anak dalam menggunakan berbagai media dan sumber yang dibaca agar yang dibaca memang relevan untuk usia mereka. Dengan pembiasaan ini, anak-anak bukan hanya menjadi melek aksara sejak dini, tetapi mereka juga dapat belajar berpikir kritis menganalisis informasi atau isi dari bacaan atau teks yang mereka baca, dengarkan, atau tonton.
Untuk anak-anak yang sudah lebih mahir dalam pemahaman, orangtua ataupun guru dapat mengarahkan dengan kebiasan bukan hanya membaca, mendengarkan, atau menonton saja, melainkan juga menuliskan sesuatu. Kemampuan memproduksi tulisan hendaknya perlu dibiasakan. Pemanfaatan konsep sederhana 3-2-1 merupakan salah satu strategi jitu yang dapat dijadikan sebuah kebiasaan ketika mereka menghadapi suatu teks, yakni menuliskan 3 kalimat ringkasan, membuat 2 pertanyaan, dan mencatat 1 hal baik atau penting. Dengan cara demikian mereka terbiasa belajar membuat simpulan dari suatu yang dipelajari, mengajarkan berpikir kritis dengan mengasah keterampilan bertanya, dan memberikan penilaian atas hal baik atau penting yang didapatkan.
Penulis, Guru Besar Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha