Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Ngurah Weda Sahadewa

Kemunculan kepariwisataan menjadikan Bali sangat terkenal di dunia. Namun, di balik keterkenalannya itu menjadikan Bali menanggung beban yang cukup ataupun jika tidak dikatakan relatif berat. Bagaimana tidak berduyun-duyun orang datang ke pulau nan-kecil ini. Akan tetapi, di balik itu juga sejumlah berkah dimunculkan. Namun pula, tidak dapat dibayangkan apa yang terjadi dari beberapa kali kejadian seperti Bom Bali dan yang sekarang adalah pandemi Covid-19.

Keberadaan kepariwisataan tidak dapat dipungkiri ataupun dijadikan sebagai penghalang bagi perkembangan kebudayaan. Ini yang terus dilakukan di Bali sehingga berjibaku dengan pariwisata yang memberikan berbagai pengaruhnya secara internal ataupun eksternal kepariwisataan itu. Semuanya berjalan atas suatu proses, itu pasti. Tidak ada kepastian yang lebih dalam daripada adanya sebuah proses tertentu. Dalam kepariwisataan dapat dikatakan sebagai sebuah keniscayaan semu. Artikel ini mengulas bagaimana dan apa yang terjadi sebenarnya dengan kepariwisataan Bali sejauh dapat dijangkau oleh penulis.

Ketika kehidupan terus berjalan, maka yang terjadi adalah proses untuk terus menjadikan kehidupan itu agar dapat berlangsung semakin baik dari hari ke hari. Inilah asal dari sebuah harapan. Sebuah kenyataan yang hendak dijadikan sebagai bentuk untuk perubahan. Kenyataan itu adalah kehendak rakyat untuk berubah namun, apakah demikian dengan kenyataan yang sebenarnya?

Baca juga:  Pariwisata Harus Didesain Beri Manfaat Optimal bagi “Krama” Bali

Kemunculan kepariwisataan di Bali memang memiliki suatu rentang sejarah yang cukup panjang tentu di sini dalam artikel ini dimunculkan bukan sisi kesejarahannya melainkan bagaimana kemunculan kepariwisataan tersebut lebih kepada upaya menarik minat orang luar untuk datang ke Bali. Sekarang, bagaimana dengan orang Bali sendiri yang justru mengalami suatu stagnasi tertentu yang berkutat seolah-olah dengan budayanya saja sembari harus menyikapi segala bentuk perubahan yang datang. Padahal, di sisi lain justru orang yang datang semata-mata dalam rangk salah satu mengeksploitasikan kebudayaan yang ada dalam segala segi dengan pendukung berbagai fasilitas kepariwisataan yang disediakan. Keberadaan kepariwisataan di Bali sejauh ini dapat dipandang sebagai bentuk kepariwisataan yang cenderung menunjuk kepada kemajuan secara fisik.

Kemajuan secara fisik juga terkait dengan pembangunan kebudayaan yang mengarah kepada dimensi material. Kebudayaan yang berdimensi material pun dipertahankan secara masif atas dasar ketertarikan dari para wisatawan yang melihat gebyar secara material dari kebudayaan Bali itu. Kebudayaan Bali menjadi disederhanakan dalam tataran material sejauh yang dapat dilihat ataupun lebih tepatnya lebih sejauh dapat dinikmati semata. Inilah sebagai jurang yang ditempuh. Jurang yang ditempuh maksudnya adalah begitu banyak jalan terjal nan curam harus ditempuh untuk kembali mengukuhkan kebudayaan yang tidak semata-mata di permukaan sedini mungkin.

Baca juga:  Sampradaya

Kemampuan para leluhur di Bali dahulu untuk mengemas kebudayaan menjadi material tidak terlepas dari kemampuan untuk mengemas yang immaterial lebih dulu termasuk dalam khasanah kespiritualitasan. Spiritualitas adalah salah satu yang terpenting dalam kebudayaan Bali. Kebudayaan Bali seharusnya tetap berpegang atas prinsip-prinsip spiritual. Akan tetapi, tampaknya tantangan yang ada telah mampu sedikitnya menggeser kebudayaan Bali justru lebih condong ke permukaan. Seterusnya menampilkan gejala yang menunjuk kepada pengembangan material aspect saja.

Ke depan tampaknya perlu suatu kemungkinan baru untuk mengevaluasi kembali keterkaitan spiritualitas dengan kebudayaan. Kebudayaan Bali sangatlah sakral. Namun kesakralan itu mestinya tentu tidak memunculkan kefanatikan. Melainkan malah justru kemungkinan yaitu kemungkinan yang lebar dan luas serta dalam untuk menekuni dunia secara spiritual tanpa meninggalkan keduniaan itu sehingga terjadi kontektualitas antara spiritualitas dengan dunia materiil. Akan tetapi tidak berarti terjebak kemudian ke dunia materiil dengan diselubungi oleh spiritualitas itu. Seterusnya menjadikan kebudayaan sebagai kabut yang menutupi keleluasaan penglihatan artinya yang terlihat itu saja yang disebut dengan kebudayaan. Kebudayaan sementara masih selalu terjebak dalam lumpur material akan tetapi keterjebakan itu dapat ditanggulangi dengan satu kemunculan. Apakah kemunculan yang satu itu?

Baca juga:  Gathering IFBEC, Penerapan Pergub Kearifan Lokal Diingatkan Kembali

Satu kemunculan adalah kemunculan dengan jalan kebudayaan yang menyusun agenda kepariwisataan dengan dasar pertama, tidak menjadikan kebudayaan sebagai perahan. Kedua, menuntun kepariwisataan yang menuntun kebudayaan itu sendiri berjalan pada jalan yang benar dalam kawasan spiritualitas. Satu kemunculan itu dapat dijadikan sebagai penyatu dari dua pendasaran utama yaitu pendasaran yang menuju kepada kebudayaan dan pendasaran yang menuju kepada karahayuan dan karahajengan.

Penulis, Dosen Fakultas Filsafat UGM

BAGIKAN