Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Pemerintah memutuskan Bali dan Kepulauan Riau (Kepri) dibuka kembali untuk wisatawan asing yang berasal dari 19 negara: Selandia Baru, Saudi Arabia, Kuwait, United Arab Emirates, Qatar, Bahrain, India, China, Korea Selatan, Jepang, Italia, Liechtenstein, Portugal, Perancis, Spanyol, Swedia, Norwegia, Hungaria dan Polandia, mulai Kamis (14/10). Keputusan ini merupakan momen peralihan dari pandemi ke new normal yang menjadi momen untuk menguji penerapan semua upaya menghadirkan Bali dan Kepri khususnya, dan Indonesia umumnya, yang aman dan tetap nyaman untuk berwisata berdampingan dengan virus corona yang selama ini dilakukan stakeholder pariwisata di daerah bersama pemerintah pusat.

Berbagai upaya menggerakkan lagi pariwisata Bali mulai dari work from Bali, travel bubble, program We Love Bali bekerja sama dengan influencer, program Super Deal, staycation “Pay Now Stay Letter”, penyusunan dan penerapan standard operating procedure untuk menerima wisatawan, pengetatan kedatangan wisatawan dan penerapan zona hijau di tiga titik wisata (Sanur, Ubud dan Nusa Dua). Pun halnya, berbagai program pemulihan pariwisata Kepri juga telah dilakukan untuk menggerakkan industri pariwisata yang mengalami tekanan karena pandemi saat ini.

Baca juga:  Bung Karno, Negarawan Cendekiawan

Mark Hobart (2015) menyatakan ‘Bali is a brand’ yang memungkinkan untuk menjual apa saja, maka kepemimpinan Menparekraf Sandiaga Uno yang popular dengan semboyan “gercep, geber, gaspol” relevan untuk diterapkan dalam situasi peralihan saat ini. ‘Gercep’ adalah bergerak cepat, ‘geber’ adalah bergerak bersama-sama untuk membangkitkan industri pariwisata, ‘gaspol’ adalah menggarap semua potensi lapangan pekerjaan yang ada. Gercep, geber dan gaspol untuk mengoptimalkan potensi pariwisata Bali dan Kepri.

Tiga spirit kinerja ini juga menjadi ‘uji coba’ kinerja kementerian pariwisata berkolaborasi dengan melakukan orkestrasi seluruh pemangku kepentingan di pusat dan daerah, dalam mendukung percepatan pembangunan 5 destinasi super prioritas: Borobudur, Toba, Likupang, Mandalika, Labuanbajo. Pada waktu yang bersamaan diharapkan menjadi andalan pemulihan ekonomi bangsa, menjaga gairah dan antusiasme publik di berbagai daerah di Tanah Air untuk bersama-sama memperkuat kepariwisataan RI melalui peningkatan daya saing kepariwisataan daerah masing-masing. Diyakini bahwa rasa sebangsa yang bersama-sama mengalami keterpurukan karena pandemi, akan menjadi kekuatan untuk bersatu dan berkolaborasi bersama.

Pandemi Covid-19 mendorong terjadinya reorientasi jalur perjalanan wisatawan jarak jauh (long haul) ke jarak menengah dan pendek (medium and short haul trip), menurunnya tingkat pengeluaran dan lama tinggal maupun jumlah perjalanan wisatawan yang melakukan perjalanan ke luar negeri karena mereka lebih memilih berwisata di dalam negeri. Pola serupa terjadi ketika krisis global beberapa tahun yang lalu. Karena itu, ada beberapa poin penting untuk mengakselerasi sumber daya yang dimiliki guna mengatasi tantangan yang ada dan mempercepat pencapaian target yang dicanangkan.

Baca juga:  Dijadwalkan 21 April, Pembukaan Pariwisata Internasional Dua Destinasi Ini Diundur

Pertama, Kemenparekraf diharapkan menjadi leading sekaligus pemersatu stakeholder kepariwisataan terdiri dari sektor private, pemerintah, asosiasi, akademisi dan masyarakat umum. Diharapkan muncul team work swasta-pemerintah untuk mengatasi kendala aturan dan ritme kerja birokrasi, lebih-lebih mengatasi situasi sulit pandemi yang menekan pelaku usaha pariwisata dan perhotelan, dan menambah pengangguran.

Kecepatan dalam pengambilan keputusan yang cermat dan tepat, mengawasi dan mengevaluasi penerapan CHSE (cleanliness, healthy, safety, environment sustainability) sampai ke ‘lorong-lorong’ yang tak terlihat di permukaan.

Kedua, Kemenparekraf juga diharapkan semakin memperluas lobi di tingkat internasional untuk membuka akses warga negaranya datang ke Bali dan Kepri khususnya. Dalam situasi normal, diplomasi internasional diperlukan untuk memenangkan biding MICE (meeting, incentive, conference, exhibition) atau keputusan-keputusan politik otoritas negara asing yang merugikan kita seperti travel warning, larangan terbang bagi maskapai Indonesia di area negara lain, diplomasi dan lobbying personal yang dijalankan seorang menteri pariwisata sangatlah efektif. Justru pada area-area diplomasi kebudayaan atau biasa dikenal diplomasi soft power dipercaya berdaya efektif bagi pemulihan dan peningkatan citra Indonesia secara luas, dan khususnya dampaknya bagi pariwisata Indonesia di masa krisis saat ini.

Baca juga:  Setelah Pelonggaran Masker, Bali Perlu Kebijakan ”Write Off”

Ketiga, Kemenparekraf tidak hanya survive, tetapi juga thrive, artinya tidak hanya bertahan, tetapi juga menangkap peluang pasar wisatawan. Kiranya momentum dibukanya kembali Bali dan Kepri bagi wisman saat ini, dengan spirit gercep, geber dan gaspol akan menjadi harapan para pelaku usaha dan pekerja di bidang pariwisata, serta siapapun yang bergantung pada sektor pariwisata. Mari bersinergi di masa-masa sulit saat ini dan melakukan normalisasi pada waktunya nanti.

Penulis, Dosen Prodi Pariwisata, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN